Mohon tunggu...
Alfian Wahyu Nugroho
Alfian Wahyu Nugroho Mohon Tunggu... Penulis Artikel

Selamat membaca beragam tulisan yang menganalisis berbagai fenomena dengan teori-teori sosiologi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Narasi Nasionalisme dan Romantisme Sejarah sudah Usang dan Tidak Relevan Lagi di Media Sosial

14 Mei 2025   18:12 Diperbarui: 14 Mei 2025   18:56 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Postingan tentang Kartini (Sumber: https://vm.tiktok.com/ZShHdjKB3/)

Ada satu hal yang menurut saya menarik sebagai bahan diskusi, beberapa Minggu yang lalu kita merayakan hari Kartini sebagai tradisi. Lalu saya melihat satu postingan yang menarik perhatian saya, konten seperti ini.

Dari konten tersebut, tentu saya tidak terlalu terkejut, kebanyakan generasi sekarang, tidak merasa memiliki keterikatan emosional pada narasi-narasi lama yang dibentuk tanpa partisipasi mereka. Bagi generasi yang dibesarkan dengan teknologi, kebebasan berpikir dan penuh rasionalitas justru merasa lebih jujur saat menyampaikan narasi sejarah dalam bentuk sarkasme dan sinisme. Kita mulai dari imaji tentang tokoh nasional, perjuangan kemerdekaan, serta nilai-nilai kepahlawanan dibentuk dan disebarkan melalui institusi negara yang bersifat top-down. Nasionalisme disampaikan sebagai doktrin, bukan sebagai ruang diskusi. Tokoh seperti Kartini, Soekarno, hingga Sudirman dijadikan ikon moral tanpa cela mereka dibekukan dalam patung, mural, dan teks pelajaran. Namun, di era digital, terutama lewat media sosial, terjadi pembongkaran besar-besaran atas romantisme sejarah tersebut. TikTok, Twitter, dan Instagram sering menjadi ruang baru untuk diskusi sejarah yang tidak lagi sakral. Narasi tersebut sering diulas, dipertanyakan, bahkan ditertawakan. Jika narasi sejarah nasional pun sering sekali pertanyakan, apa yang menyebabkan mereka terlalu kritik dan sinis terhadap tokoh tokoh tersebut? Saya mencoba melihatnya dari sudut pandang psikologi dan sosiologi. Berikut ulasan yang ingin saya berikan kepada para pembaca.

Dekonstruksi Tokoh Sejarah oleh Netizen

Ruang media sosial sekarang bahkan sudah menjadi arena untuk membongkar ulang narasi sejarah yang sebelumnya dianggap perfect atau sekaan akan tanpa cela. Proses ini sering kali diwujudkan dalam bentuk kritik sarkastik, humor gelap, hingga satire tajam terhadap tokoh-tokoh sejarah nasional, yang mencerminkan fenomena dekonstruksi terhadap wacana historis arus utama. Contoh yang menonjol dari postingan yang ingin saya bahas adalah komentar netizen terhadap R.A. Kartini, yang menyatakan kebingungan atas penetapan Hari Kartini sebagai hari nasional dengan nada sinis seperti, “sampe sekarang masih nggak ngerti kenapa Hari Kartini ada di kalender, padahal ada pahlawan perempuan lain”. Kritik ini berkembang ke arah pertanyaan historis yang lebih dalam, misalnya perbandingan antara Kartini dan Dewi Sartika yang dianggap lebih konkret kontribusinya karena mendirikan sekolah. Namun, menurut analisis historis para ahli dibidangnya menggambarkan bahwa, Kartini memang menyumbang gagasan yang melampaui zamannya lewat surat-suratnya yang memperlihatkan kegelisahan atas sistem feodalisme dan patriarki di Hindia Belanda serta rasa kagum sahabat penanya terhadap Kartini yang secerdas itu, sehingga membuat sadar bahwa pendidikan di Hindia Belanda untuk wanita masih ada harapan. Meskipun pada akhirnya menikah dengan Bupati Rembang sebagai istri ke-4 yang notabene seorang feodal dan patriarki, kalau kata postingan tersebut. 

Komentar sarkas tentang Kartini (Sumber: https://vm.tiktok.com/ZShHdjKB3/)
Komentar sarkas tentang Kartini (Sumber: https://vm.tiktok.com/ZShHdjKB3/)

Gejala ini menunjukkan bahwa generasi digital memanfaatkan kebebasan berekspresi untuk melakukan re-reading terhadap sejarah melalui sudut pandang yang tak selalu akademik, namun tetap politis. Dalam kerangka teori dekonstruksi Jacques Derrida, tindakan ini bisa dimaknai sebagai usaha membongkar pusat makna dari narasi dominan. Derrida menolak gagasan bahwa makna adalah tetap dan stabil; sebaliknya, ia menunjukkan bahwa makna selalu dikonstruksi melalui oposisi biner yang timpang (Derrida, 1976). Dalam konteks sejarah Indonesia, pusat-pusat makna itu, misalnya Kartini = emansipasi perempuan; Soekarno = bapak bangsa; pahlawan = tanpa cela. Dengan memparodikan atau mengkritik tokoh seperti Soekarno misalnya dengan menyebutnya “mandor romusha”, atau mencemooh kebiasaan personalnya yang “mengoleksi istri”, netizen senang sekali untuk menggoyang struktur sentral dari narasi kebangsaan itu sendiri. Tidak berhenti di sana, media sosial memperlihatkan kemunculan fenomena yang bisa disebut sebagai otoritas digital, yakni hak kultural baru yang dimiliki oleh warganet untuk “menafsirkan ulang” sejarah secara kolektif. Mereka bukan lagi sekadar konsumen narasi, tapi menjadi produsen wacana baru yang bercampur antara pengalaman, pengetahuan populer, dan afeksi personal. Hal ini senada dengan konsep kuasa-pengetahuan (power-knowledge) dalam teori pendidikan radikal. Dijelaskan bahwa wacana sejarah bukanlah kebenaran objektif yang diturunkan dari atas, melainkan produk kuasa yang bisa dilawan dan diubah. Maka, ketika seseorang mengkritik Kartini karena bukan pendiri sekolah, itu bukan sekadar ekspresi ketidaktahuan, melainkan perlawanan terhadap historiografi nasional yang dianggap terlalu “Jawa sentris” atau maskulin. Dekonstruksi tokoh sejarah melalui media sosial juga menunjukkan pergeseran paradigma dalam konsumsi sejarah dari narasi linear dan tunggal menjadi narasi multiperspektif. Akibatnya tidak ada lagi istilah “grand narrative” yang sakral. Sejarah menjadi arena intertekstualitas yang bebas dimasuki siapa pun bahkan oleh generasi yang tidak mengalami masa sejarah itu sendiri. Ketika komentar seperti “Soekarno gonta-ganti istri, tapi dibela mati-matian” muncul, maka terjadi negosiasi antara nilai moral masa kini dengan nilai historis masa lalu, yang menandakan bahwa sejarah bukanlah fakta yang selesai, melainkan medan tafsir yang terbuka. Akan tetapi, proses dekonstruksi ini tidak selalu membawa pada pemahaman yang lebih adil atau akurat. Kadang-kadang ia justru memunculkan reduksi sejarah menjadi sekadar bahan candaan, atau membingungkan antara satire dengan fitnah. Di sinilah perlunya literasi sejarah yang tangguh, agar dekonstruksi tidak menjadi dekadensi. Derrida sendiri tidak pernah bermaksud bahwa dekonstruksi adalah penghancuran, melainkan pembacaan ulang yang sadar akan bias, konteks, dan eksklusi dalam teks. Maka, tantangan kita adalah bagaimana menjaga ruang digital sebagai tempat diskursus kritis tanpa kehilangan kompleksitas sejarah itu sendiri.

Konformitas dan Merasa Keren Jika Berbeda Sendiri

Sebelumnya saya menulis dari sisi struktur atau society-nya, lalu, bagaimana dengan perilaku dari individunya? Dalam psikologi sosial, istilah konformitas dari Solomon Asch sangat relevan untuk membahas ini. Solomon menyatakan bahwa individu cenderung mengikuti pendapat kelompok mayoritas, bahkan jika pendapat tersebut bertentangan dengan keyakinan pribadinya. Dikaitkan dengan konteks sebelumya, jika dalam kolom komentar sebuah sebuah posting terdapat banyak komentar yang bersifat sarkastik atau sinis terhadap tokoh sejarah, maka individu lain akan lebih cenderung mengikuti arus tersebut untuk tidak merasa “berbeda” atau “terasing” dari komunitas digital yang mereka ikuti. Fenomena ini menciptakan narasi yang seragam meskipun tidak selalu akurat atau adil secara historis. Pada akhirnya netizen yang ada di dalam komentar tersebut membangun harga dirinya melalui afiliasi kelompok. Ketika individu bergabung dalam komunitas daring yang bersikap sinis terhadap sejarah nasional, mereka merasa menjadi bagian dari kelompok "cerdas", "kritis", atau bahkan "anti-mainstream". Identifikasi kelompok ini memperkuat loyalitas terhadap narasi kelompok, dan semakin menjauhkan mereka dari pendekatan sejarah akademis yang objektif. Dalam kasus ini, kelompok netizen ini bukan hanya memberikan dukungan, tetapi juga mendikte apa yang dianggap “layak” dipercaya dan disebarkan.

Namun dalam psikologi sendiri, ada istilah lain yang menggambarkan kenapa netizen kita sering berkomentar yang ingin mengkritik narasi sejarah tersebut. Banyak netizen merasa "edgy", pintar, atau keren ketika berani mengemukakan pendapat yang bertentangan dengan narasi sejarah arus utama. Mereka memperoleh rasa puas karena terlihat kritis, apalagi jika mendapat validasi berupa likes, shares, atau dukungan dari pengguna lain. Dengan kata lain, ruang komentar di media sosial menjadi arena performatif di mana pendapat yang menyimpang (counter-narrative) justru dipandang lebih bernilai secara sosial, bukan karena akurasinya, tetapi karena efek kejutnya. Ini yang disebut sebagai need for uniques (Snyder & Fromkin, 1980) dalam kebutuhan psikologi manusia. Akhirnya, media sosial juga memperkuat bias kognitif seperti confirmation bias, di mana individu cenderung hanya mencari dan mempercayai informasi yang sesuai dengan pandangan atau perasaan mereka. Jika seseorang sudah merasa skeptis terhadap tokoh sejarah tertentu, maka algoritma media sosial akan memperkuat persepsi itu dengan menampilkan konten-konten serupa. Siklus ini membentuk echo chamber yang sulit ditembus oleh narasi sejarah yang lebih seimbang dan terverifikasi. Oleh karena itu, dekonstruksi sejarah bukan hanya akibat ketidaktahuan, tetapi juga didorong oleh dinamika psikologis dan sosial digital yang kompleks dan saling memperkuat.

Komentar sarkas lain tentang Kartini (Sumber: https://vm.tiktok.com/ZShHdjKB3/)
Komentar sarkas lain tentang Kartini (Sumber: https://vm.tiktok.com/ZShHdjKB3/)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun