Mohon tunggu...
Nur Alfia Ekawati
Nur Alfia Ekawati Mohon Tunggu... Guru - A teacher, a writer, a translator, a book lover

2006 - sekarang (English Teacher, Writer, and English Translator) 2005 (English Tutor in Primagama) 2002 - 2014 (English Instructor in IEC Malang)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Gerakan Literasi Sekolah, Antara Harapan dan Realita

15 Oktober 2020   19:35 Diperbarui: 19 Oktober 2020   05:37 1221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi buku-buku (dok. pribadi)

Akibatnya, kemampuan literasi siswa bukannya meningkat, justru semakin kacau. Salah satunya adalah kemampuan untuk menganalisis validitas atau tingkat kebenaran suatu informasi.

Di masa kecepatan informasi yang luar biasa saat ini, para siswa sangatlah mudah percaya dengan suatu informasi atau berita tanpa mengecek terlebih dahulu kebenarannya. 

Dengan mudahnya copy-paste dan share berita, tanpa disadari, mereka turut menyebarkan berita hoax melalui media sosial. Selain itu, kebiasaan menerima segala informasi begitu saja tanpa filter, juga menyebabkan mereka menjadi sasaran empuk penipuan melalui pertemanan di dunia maya.

Dengan beratnya tantangan yang kita hadapi, sudah selayaknya jika Gerakan Literasi Sekolah mendapatkan porsi perhatian yang cukup besar. Semua komponen baik masyarakat, sekolah, dan orang tua harus saling bersinergi untuk menciptakan ekosistem yang literat. Namun kenyataan di lapangan masih jauh dari sempurna.

Pelaksanaan Gerakan Literasi Sekolah yang sudah berjalan 4 tahun nampaknya masih sekadar menuntaskan kewajiban. Di banyak sekolah, pembiasaan membaca 15 menit di awal pembelajaran terkesan dipaksakan. Siswa hanya membaca apa saja yang bisa dia temukan atau bawa. 

Hal ini disebabkan minimnya penyediaan buku yang bervariasi di perpustakaan dan penyediaan pojok buku yang ala kadarnya. Pembiasaan yang seharusnya dapat meningkatkan minat baca siswa justru hanya menjadi kegiatan rutin tanpa ruh dan antusiasme.

Program yang seharusnya terintegrasi dengan kurikulum ini, masih belum memiliki arah dan tujuan yang jelas. Sekolah masih belum menentukan target yang ingin dicapai setelah melaksanakan program literasi di sekolah. 

Dengan tidak adanya target, maka ketercapaian program juga tidak bisa diukur. Akibatnya, sekolah tidak mengetahui dengan pasti sejauh mana keberhasilan pelaksanaan program ini. Pada akhirnya, Program Literasi Sekolah hanya berjalan di tempat.

Pelaksanaan Gerakan Literasi Sekolah juga membutuhkan dukungan sarana dan prasarana yang memadai, di antaranya penyediaan buku yang beragam dalam jumlah yang memadai serta perpustakaan dan pojok buku yang nyaman dan ramah anak. 

Tentunya hal ini membutuhkan dana yang tidak sedikit. Diperlukan keberanian sekolah untuk mengalokasikan beberapa persen dari dana yang ada untuk pelaksanaan Program Literasi.

Para siswa di SDN Wonolagi, Desa Ngleri, Kecamatan Playen, Gunungkidul, sedang belajar (16/7/2019) (Foto: MARKUS YUWONO/Kompas)
Para siswa di SDN Wonolagi, Desa Ngleri, Kecamatan Playen, Gunungkidul, sedang belajar (16/7/2019) (Foto: MARKUS YUWONO/Kompas)
Namun pada kenyataannya, anggaran untuk perpustakaan dan penyediaan pojok buku belum menjadi prioritas rutin. Minimnya dana yang ada di sekolah juga menjadi salah satu penyebab rendahnya alokasi dana untuk perbaikan dan peningkatan sarana prasarana pendukung literasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun