Mohon tunggu...
Hajar Alfarisy
Hajar Alfarisy Mohon Tunggu... Petani - Menulis mengabadikan masa depan

Berjalan dalam kadar mengingat

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Dua Bangsawan Luwu

21 Januari 2019   13:23 Diperbarui: 21 Januari 2019   16:02 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.facebook.com/photo.php?fbid=2674706629221123&set=a.198244400200704&type=3&theater

Setiap perayaan adalah memanggil peristiwa dari masa lalu, sekaligus  juga mungkin kehendak memanggul masa depan. Selalu ada saja yang heroik mungkin juga getir. Dibalik heroisme, orang besar tanpil sebagai "raja raja" masa depan.

Nun, dimasa lalu kerajaan Luwu, Andi Djemma melakon diri sebagai raja lokal yang nasionalis. Ia menjadi orang besar, bukan karena ia bergelar datu Luwu, tetapi karena ia menciptakan momen besar. Momen ketika ia memosisikan masyarakat sebagai  akar tumbuhnya keputusan; melawan kolonialisme Belanda.

1946, Bendera merah putih berkibar, para kolonial Belanda mengancam- turunkan bendera itu.. -- merah putih !!!. Tapi, Andi Djemma memilih tak takluk dari ancaman, ia memilih menjadi pahlawan. 

"Jika saya menurunkan bendera Merah Putih, maka rakyat saya akan membunuhku, jika saya tak menurunkannya, kalian (Belanda) yang membunuhku, karena itu, aku memilih mati ditangan kalian, dibanding ditangan rakyatku".

Kata -- kata itu berbeban makna, memanggil gelora berlawan. Bahasa itu memang singkat, tetapi dari sana ekpresi sosial menemukan energinya, kata perjuangan pun lahir begitu gagahnya dalam setiap jiwa rakyat. Kita tak bisa mencari jawaban bagaimana bisa nasionalisme begitu cepat tumbuh. 

Tetapi, kita segera mengangguk, bukankah memang  "manusia besar"dengan mudah memesona rakyatnya; aku memilih mati ditangan kalian, dibanding ditangan rakyatku. Dengan itu, Andi Djemma 'menenggelamkan' rakyat dalam narasi kepahlawanan.  Sebab itu, 23 Januari 1946, herosime itu dirayakan, dan kita, menemukan manusia luwu berkode kebangsawanan. Bergerliya dan diasingkan.

Tak hanya Andi Djemma, Opu Daeng Risaju memenggal kebangsawan trah- darah. Andi Kambo, hendak membebaskannya, tapi dengan syarat. Perempuan paru baya itu, harus berhenti melawan kolonialisme. Kita kembali dibuat terkhenyak, sekaligus takjub.

'Jika karena darah kebangsawanan yang mengalir dalam darahku lalu kalian memintaku berhenti berjuang, irislah kulitku, keluarkan darah kebangsawanku". 

Penolakan yang heroik, sosok wanita paruh baya itu, memanggulkan kita beban. Memang dibalik yang heroisme itu, kita harus juga sadar bahwa ada yang getir, wanita itu meninggal dalam pengasingan.

Bergerliya, dan diasingkan. Dua hal yang sama, sebagai konsekwensi bagi manusia besar. Mereka menjauh dan dijauhkan dari hiruk pikuk rasa nyaman, tapi mereka tak asing dari jiwa rakyat. Di belantara hutan, dan dipenjara. Mereka mendekatkan diri pada rakyat. Mendekap pembebasan.

Andi Djemma pula Opu Daeng Risaju, tidak memanggulkan senjata untuk kita, keduanya, memanggulkan kita alasan alasan perlawanan, memberikan pilihan pilihan terhormat membicarakan masa lalu pula masa depan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun