Mohon tunggu...
Naufal Alfarras
Naufal Alfarras Mohon Tunggu... Freelancer - leiden is lijden

Blogger. Jurnalis. Penulis. Pesilat. Upaya dalam menghadapi dinamika global di era digitalisasi serta membawa perubahan melalui tulisan. Jika kau bukan anak raja, juga bukan anak ulama besar, maka menulislah. "Dinamika Global dalam Menghadapi Era Digitalisasi" Ig: @naufallfarras

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama FEATURED

Intip Beragam Upaya Menghadapi Hoaks Vaksin

23 Juni 2019   11:22 Diperbarui: 28 Maret 2020   15:56 542
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seorang anak menangis saat diimunisasi measles-rubella (MR) di Solo, Jawa Tengah, Selasa, (1/8/2017). Pemberian imunisasi ini akan menyasar seluruh anak usia 9 bulan sampai 15 tahun di Solo. | KOMPAS/ERWIN EDHI PRASETYA

Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO menyatakan ancaman kesehatan global pada 2019 akan meningkat seiring ketidakpercayaan masyarakat terhadap vaksin.

Vaksin adalah bahan antigenik yang berfungsi untuk menghasilkan kekebalan aktif terhadap suatu penyakit yang disebabkan bakteri maupun virus sehingga mampu mengurangi dan mencegah dampak infeksi.

Laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada April 2019 menyatakan sebanyak 169 juta anak mengabaikan penggunaan vaksin campak sepanjang tahun 2010 hingga 2017.

Keraguan dan kekhawatiran masyarakat sangat memengaruhi tingkat kepercayaan vaksin yang rendah. Hal ini justru cenderung terjadi di negara-negara maju.

Wellcome, sebuah badan amal di Inggris telah melakukan survei mengukur tingkat kepercayaan terhadap vaksin di 144 negara dengan sampel berusia 15 tahun ke atas sepanjang bulan April hingga Desember 2018 lalu.

Ditemukan sebesar 33 persen warga Prancis meragukan keamanan vaksin sehingga menempatkan negara ini sebagai negara dengan tingkat kepercayaan terhadap vaksin terendah di dunia.

Bangladesh dan Rwanda adalah dua negara dengan tingkat kepercayaan tertinggi terhadap vaksin. Hampir seluruh masyarakat disana tidak meragukan keamanan vaksin.

Kepercayaan tinggi terhadap vaksin disebut karena dua kawasan tersebut memiliki banyak penyakit menular. Agar tidak terserang penyakit, masyarakat memilih untuk melakukan vaksin.

Kebijakan Global Menghadapi Hoaks Vaksin

Permasalahan antivaksin dan maraknya konten hoaks perihal vaksin juga melanda dunia dan malah menimpa negara-negara maju. Berbagai aturan dan sanksi tegas dibentuk agar vaksinasi berjalan baik.

Pemerintah Jerman telah menyusun rencana apabila orang tua terbukti menolak vaksin campak kepada anaknya, maka akan didenda sebesar 40 juta rupiah.

"Vaksin adalah bahan antigenik yang berfungsi untuk menghasilkan kekebalan aktif terhadap suatu penyakit yang disebabkan bakteri maupun virus sehingga mampu mengurangi dan mencegah dampak infeksi."

Selain itu, pemerintah Italia membuat kebijakan berupa larangan kepada anak-anak masuk sekolah jika tidak mengikuti vaksinasi sesuai dengan prosedur setempat.

Jika melanggar dengan tetap nekat ke sekolah, orang tua yang bersangkutan akan menerima sanksi berupa denda sebesar 8 juta rupiah.

Aturan serupa juga diterapkan oleh Australia. Di negara Pakistan justru lebih ketat. Orang tua akan dibui apabila menolak memvaksinasi anaknya karena meragukan keamanan vaksin.

Maraknya penolakan vaksin disebabkan informasi palsu atau hoaks di internet terkhusus media sosial. Orang tua memutuskan tidak memvaksinasi anaknya lantaran khawatir terhadap keamanan vaksin itu.

Upaya Berbagai Platform Menghadapi Hoaks Vaksin

Facebook menjadi platform penyedia media sosial pertama yang sudah terlebih dahulu menghapus konten hoaks mengenai anti vaksin yang terus mengalami peningkatan dalam platform tersebut.

Langkah tersebut diikuti pula oleh Instagram. Platform ini telah bekerja sama dengan lembaga World Health Organizaton (WHO) dalam memverifikasi informasi perihal vaksin.

Sejak pertengahan Mei lalu, Instagram juga telah berupaya dalam mencegah disinformasi berkaitan dengan vaksin. Hasil pencarian melalui tagar apabila menampilkan Informasi yang keliru akan disembunyikan.

Tagar seperti #vaccinescauseautism dan #vaccinescauseaids telah diblokir. Selain itu, akun yang membagikan konten palsu akan diblokir pula.

Selain itu, Twitter telah melakukan kerja sama dengan Departemen Kesehatan dan Layanan Kemanusian AS dalam mengumpulkan informasi mengenai vaksin.

Platform Twitter kini dilengkapi fitur alat pencarian dalam membantu pengguna mencari informasi tepat dan terpercaya mengenai vaksin. Alat pencarian ini akan tersedia di beberapa negara selain AS termasuk di Indonesia.

Selain itu, fitur tersebut juga akan menghentikan pengguna apabila mengetik istilah keliru tentang vaksin dalam mencegah penyebaran konten hoaks.

Beberapa waktu lalu sempat terjadi perdebatan antara seorang anggota dewan di AS dengan beberapa tokoh ahli di media sosial. Perdebatan yang sempat viral ini mengundang beragam komentar netizen.

Berawal saat Profesor Peter Hotez dari Baylor College of Medicine mengimbau para pembuat kebijakan agar menekan angka anak yang tidak divaksinasi.

Hal ini direspon oleh Jonathan Stickland selaku anggota dewan justru dengan mengatakan vaksin adalah sihir yang mesti dijauhkan dari anak-anak. Tak ayal perdebatan antara keduanya menimbulkan reaksi beragam dari netizen.

Mewaspadai Setiap Konten Hoaks Vaksin

Tingkat kepercayaan terhadap vaksin yang semakin rendah menyebabkan cakupan vaksinasi tidak akan mencapai target yang ditentukan.

Efek samping yang dirasakan setelah vaksinasi dikenal dengan Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) sangat tidak sebanding apabila tidak melakukan vaksinasi sama sekali.

Pasca vaksinasi biasanya akan timbul keluhan berua rasa gatal, bengkak, nyeri, hingga demam. Keluhan ini merupakan hal lumrah pasca vaksinasi sehingga tidak perlu khawatir

WHO mencatat penyakit seperti campak mampu membunuh 100 ribu orang tiap tahunnya karena komplikasi dari campak berupa diare, infeksi saluran pernapasan, hingga pembengkakak otak.

Gerakan antivaksin tidak hanya terjadi di Indonesi melainkan juga di berbagai negara dengan alasan keamanan, kualitas, dan kehalalan. Informasi hoaks tentang vaksin dan penolakan terus berkembang.

Solusi berupa menyajikan informasi akurat seputar manfaat vaksin perlu digiatkan. Padahal, teknologi vaksin kini sudah sangat berkembang. Kualitas dan keamanan dalam langkah preventif tidak perlu dipertanyakan lagi.

Situs resmi WHO bahkan telah memberikan informasi mengenai wabah yang sedah melanda suatu daerah serta vaksin yang dapat digunakan sebagai tindak pencegahan apabila wisatawan ingin berkunjung ke daerah tersebut.

Konten hoaks terutama di media sosial menjadi tantangan dalam menyukseskan program vaksinasi di Indonesia serta global. Vaksin merupakan upaya pencegahan terhadap penyakit menular berbahaya.

Dengan teknologi yang kian hari kian berkembang pesat tidak menjadi halangan masyarakat Indonesia dalam melakukan vaksinasi.

Kemajuan teknologi justru semakin meningkatkan keamanan, kualitas, dan menghilangi keraguan masyarakat terhadap vaksin yang telah disediakan pemerintah.

Tantangan yang dihadapi berupa hoaks vaksin harus dilawan agar tidak menimbulkan keresahan. Meningkatkan wawasan pemahaman vaksin tentu melalui media cetak atau elektronik yang dijamin kredibilitasnya.

Bogor, 23 Juni 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun