Selama beberapa hari, aku lebih memilih terdiam dan mengurung diri di kamar. Biasanya juga sebenarnya aku lebih banyak di kamar dan asyik tenggelam dalam buku bergambar superhero kesukaanku. Tapi, aku lebih memilih untuk tidak melakukan apa-apa dan bergumul dalam selimut. Mom yang melihatku seperti itu terlihat sangat khawatir. Tiap beberapa menit. ia akan berpura-pura ke kamarku, mencari sesuatu. Atau kalau tidak ia akan menawariku cookies atau jus buah kesukaanku, berharap itu akan membuatku merasa gembira. Ia lalu akan mengusap rambutku yang jarang-jarang itu, sambil berkata, "Max kenapa? Mau cerita ke Mom?"
Dan aku hanya akan diam, tidak mengatakan apapun. Aku hanya akan keluar dari kamar ketika sudah waktunya sarapan, makan siang dan makan malam, selebihnya aku memilih termenung dalam kamarku. Dad yang nampaknya sudah tak tahan lagi melihat perilakuku, akhirnya memutuskan berbicara empat mata denganku.
Malam itu, Dad datang ke kamarku, sambil membawa cemilan yang dibelinya saat perjalanan pulang dari kantornya. Ia duduk disampingku sambil memakan cemilan yang dibawanya itu. Ia seolah-olah menggodaku dengan mengucapkan, 'wah kue ini enak sekali' atau sekedar ber-hmm lama seolah menikmati rasa yang ada di dalam mulutnya. Tapi aku tetap diam dan tak menunjukkan reaksi apa-apa. Seusai menghabiskan kue itu, ia mengelus rambutku.
"We need to talk... Kita perlu bicara, Max."
Aku tidak menjawab dan Dad kemudian mengangkat tubuhku pelan dan menegakkan tubuhku yang sedari tadi terbaring di kasur. Dad menatapku, aku malas menanggapinya dan ingin merebahkan tubuhku kembali.
"Dad tahu kalau kamu mengetahui rencana kami untuk menyekolahkanmu di sekolah umum..."
"..."
"Dad. tidak akan memaksa. Pun, jika Max ingin tetap berada dengan kami sampai tua pun, kami rela."
Aku menundukkan wajahku, hampir menangis.
"Tapi, Dad dan Mom... tidak bisa menjaga Max selamanya. Suatu saat Dad, akan pergi.... Suatu saat Mom, akan pergi... dan kami tidak mau Max menjadi orang yang tak berguna. Yang tidak bisa standing on his own feet - berdiri dengan kakinya sendiri."
Dad memeluk kepalaku, menyandarkannya pada dada lebarnya.