Kadang aku masih membayangkan baring tubuhmu, di sampingku ketika aku memiringkan badanku. Kadang aku menciumi bantal yang biasa kau gunakan, berharap ada wangi rambutmu yang masih tersisa disana. Aku kembali mengutuk malam, mengapa ia begitu kelam. Mengapa ia begitu sunyi. Mengapa ia terasa begitu panjang dan menyayat hati.
Saat siang hari, hati ini tidaklah terluka mendidih parah seperti ini. Hanya sebuah sayatan silet, yang meskipun sakit, namun bisa kutahan dengan memalingkan pikiranku pada pekerjaan yang lain. Aku masih bisa tersenyum dan tertawa bersama orang-orang yang kuketahui. Tapi tidak, di malam hari ketika aku sendiri.
Aku kembali menyalahkan diri.
Mengutuk cinta yang seharusnya tidak keberikan seutuhnya pada satu hati. Benar kata temanku. Jika kau menjatuhkan hati, titipkanlah ia seperlunya, dan kau masih menyisakan sedikit dikantongmu. Sehingga, suatu saat jika ia pergi, masih ada hati yang kau genggam untuk sekedar menghirup dan menghembuskan napas meski tertatih
Aku kembali meratapi dinding-dinding kosong kamarku.
Entah untuk apa kulakukan itu. Hanya saja semua nampak bagitu logis ketika kita berbicara tentang hati. Aku ingin menangis, tapi untuk apa? DIa telah pergi dan tak pantas ia menerima setetes luka yang mengalir dari mata kananku.
Aku mengengam separuh sayapku yang telah terurai dengan tangan-tanganku yang telah lelah. Memungut bulu-bulunya yang jatuh perlahan dilantai-lantai kamarku. Mencoba menancapkannya kembali, hanya untuk mengetahui bahwa perlahan semuanya akan rontok kembali.
Setidaknya aku berusaha.
Bermimpi dengan sebuah hati yang terluka. Menemukan ketenangan dalam malam yang sepi. Â
Meskipun aku tahu itu semua sia-sia.Â