Mohon tunggu...
Alex Palit
Alex Palit Mohon Tunggu... Jurnalis - jurnalis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

jurnalis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Homo Ludens" Rocky Gerung

17 Juli 2021   08:37 Diperbarui: 17 Juli 2021   08:44 1439
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rocky Gerung (foto dok Rocky Gerung Official)

Entah kebencian macam apa atau kesalahan macam apa dilakukan Rocky Gerung sampai sang teman menuliskan umpatan di status akun fb-nya: "Rocky Gerung... wis gak usah kakean bacot... Go to hell...!!!". Atau ada dendam kesumat yang menggumpal, hingga sampai segitunya. Di sini saya tidak ingin mengomentari umpatan sohib semasa SMA tersebut. Enjoy aja, "No Rocky -- No Party", dalam batin saya.

Saya bukan fans Rocky Gerung (RG), bukan pula pembenci RG, bukan pula pemuja atau penyanjung RG. Saya suka RG bukan lantaran posisinya berseberangan dengan kekuasaan, tapi suka dengan nalar kritisnya dalam melihat dan menganalisis suatu persoalan secara logic dan multi perspektif. Termasuk saya suka caranya menyasar yang menukik tajam bagai saat burung elang menyambar kodok yang lagi bengong plongak-plongok.

Terlepas dari suka tidak suka, terbukti pria yang mengaku punya empat jaket kuning almamater Universitas Indonesia (UI), punya banyak penggemar baik dari penyukanya maupun pembencinya yang diam-diam penyimak setia youtube "Rocky Gerung Official -- Forum News Network" (FNN) yang dipandu Hersubeno Arief, yang penontonnya di atas seratusan ribu. Bahkan sebelum tayang sudah banyak yang antri.

Pastinya setiap orang punya dasar pertimbangan sendiri. Ada yang suka lantaran ketajaman analisisnya, meski ada yang suka atau tidak suka dengan itu. Tapi tidak sedikit pula menikmatinya sebagai kuliah gratis mata kuliah ilmu politik, humaniora, filsafat atau ilmu tata bahasa ala RG. Atau sekedar menikmatinya "No Rocky -- No Party".

Saya sendiri sempat bingung mencari judul untuk tulisan ini. Awalnya pakai judul "No Rocky -- No Party", tapi saya anggap judul tersebut sudah terlalu umum.

Akhirnya saya menemukan sebuah ungkapan peribahasa Latin di buku "Proverbia Latina" (B.J. Marwoto & H. Witdarmono, Kompas, 2004), yaitu: homo ludens, manusia yang bermain. Ungkapan homo ludens ini dipopulerkan oleh John Huizinga (1872-1945, filologis dan sejarawan Belanda, dalam bukunya yang juga berjudul "Homo Ludens". Dan saya anggap ungkapan homo ludens ini pas dirujukkan buat RG. Dan tulisan ini tak lebih hanyalah sekedar melihat gaya linguistik RG.

Yang dimaksud "manusia yang bermain" adalah tindakan bebas yang dilakukan manusia guna memperoleh kegembiraan dan kebahagiaan sebagai permainan, sebagai tindakan kebebasannya. Untuk mengolah permainan "manusia yang bermain" ini dibutuhkan kreativitas dan daya imajinatif olah pikir, tidak asal bunyi.

Dalam konteks homo ludens, permainan merupakan realisasi kebebasan manusia untuk mengembangkan dirinya. Permainan itu sendiri sekalgus menjadikannya sebuah tantangan untuk mengaktualisasikan diri secara total. Adapun tujuan akhir dari permainan itu sendiri adalah penghormatan terhadap martabat manusia.

Memahami RG tidaklah sekedar dengan umpatan "wis gak usah kakean bacot..". Sebagai dosen pengajar filsafat, pastinya RG punya pemikiran-pemikiran filosofis yang belum tentu dipahami semua orang dalam konteks filosofisnya. Seperti penyebutkan kata "dungu" yang acap ia lontarkan, dianggap kasar, menghina dan sebagainya. Dan banyak yang tersinggung olehnya.

Meski sering mendapati protes, makian, hujatan sampai bully-an atas lontaran celoteh kata "dungu", ia pun selalu berdalil dengan pembenaran kebenaran atas apa yang dimaksud dan dipersepsikan dengan "dungu".

Saya mendapati sebuah buku "Filsafat Kata" (Reza A.A. Wattimena, 2011), yang mengulas secara filosofi makna kata "dungu" secara konteks. Di mana seringkali orang melihat apa yang ingin lihat, dan tidak peduli dengan kebenaran sesungguhnya. Akibatnya kebenaran dimutlakkan dan tercerabut dari konteks. Sementara kontekslah yang memberi makna pada kebenaran. Tanpa konteks kebenaran pun kehilangan artinya. Konteks selalu bersifat historis. Maka tak ada kebenaran mutlak. Yang ada adalah kebenaran yang pelan-pelan menyingkapkan diri.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun