Terus terang judul tulisan ini diambil dari buku terbaru sahabat saya Maman Suherman "Aku Menulis Maka Aku Ada". Walau belum baca bukunya tapi setidaknya ada yang kita garis-bawahi dengan mengutip ucapan pendiri Harian Kompas -- Jacob Oetama bahwa menulis buku adalah mahkota wartawan.
Sebagai sahabat yang dulu pernah satu komplek berkantor di bedeng Kompas Gramedia -- Palmerah Selatan, saya di Persda Kompas Gramedia, sedang Maman di Tabloid Nova, ikut berbahagia atas prestasi dan eksistensinya di dunia tulis-menulis. Dan kini eksistensi Maman Suherman yang akrab disapa Kang Maman bukan saja dikenal sebagai jurnalis tapi juga penulis buku yang produktif. Menulis buku bukan saja mahkota bagi jurnalis, juga merupakan puncak aktualisasi diri seorang jurnalis. Â
Dari judul "Aku Menulis Maka Aku Ada", kita pun diingatkan pada dictum filsuf Descrates yang begitu terkenal "Cogito Ergo Sum", aku berpikir maka aku ada. Lewat "Cogito Ergo Sum", Kang Maman mencoba menemukan jalan keluar kebenaran yang diyakini yaitu sebagai penulis sebagai eksistensialismenya. Dari judul buku tersebut Kang Maman telah memperlihatkan eksistensinya dari jurnalis kini jadi penulis buku yang produktif, aku menulis maka aku ada.
Terus terang pula, dalam hal ini saya sangat apresiatif terhadap Jalur Nugraha Ekakurir (JNE) memberi perhatian khusus bahkan memanjakan insan jurnalis dengan mengajak ikut berpartisipasi sumbangkan karya tulisnya di Writing Competition -- JNE Competition 2020.
Saya anggap memanjakan jurnalis, karena untuk kategori writing competition yang pesertanya terbagi jurnalis, blogger dan karyawan, nilai hadiahnya beda lebih besar untuk jurnalis Â
Semoga ajakan JNE berbagi kebahagiaan bersama jurnalis ini diapresiasi oleh teman-teman jurnalis untuk ikut berpartisipasi di gelaran JNE Competition 2020. Syukur-syukur dari gelaran event ini, saya atau Anda pemenang peraih hadiahnya.
Atau setidaknya dengan "Writing Competition -- JNE Competition 2020", mengajak insan jurnalis berpatisipasi semarakkan "3 Dekade JNE" sekaligus menunjukkan bahwa aku menulis maka aku ada.
Pastinya bagi seorang jurnalis yang memang kerjanya menulis dan menulis, menulis apa itu berita, pers rilis, feature, termasuk menulis buku bukanlah persoalan yang harus dijawab dengan tidak bisa. Tinggal ada kemauan atau tidak? Â Â
Begitupun kini urusan tulis-menulis bukan cuma milik jurnalis atau pekerjaan jurnalis, siapa pun bisa. Untuk jadi penulis tidah harus jadi wartawan, kini bisa dilakoni siapa saja.
Seperti kata filsuf eksistensialisme Jean Paul Sartre dengan menulis kita membahasakan pengalaman keceriaan, kebencian atau cinta dalam kata-kata. Begitupun dalam hal menulis, penulis tidak perlu berbicara tentang segala-galanya karena menulis tidak pernah purna.
Dalam hal tulis-menulis, saya pun juga diingatkan pada kata-kata sastrawan penulis buku "Tetralogi Pulau Buru" -- Pramoedya Ananta Toer yang membahasakan dengan menulis kita tidak hilang dari sejarah. Paling tidak, di era digitalisasi apa yang kita tulis tidak hilang jejak digitalnya.