Mohon tunggu...
Alex Martin
Alex Martin Mohon Tunggu... Administrasi - penulis

bercerita apa adanya, bukan karena ada apanya

Selanjutnya

Tutup

Politik

Matinya Demokrasi di PKS

17 Mei 2019   13:57 Diperbarui: 17 Mei 2019   14:03 321
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi mojok.co

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mengkalim diri adalah salah satu partai kader. Hal itu nyata dan benar adanya. Pengkaderan di PKS tidak hanya sebatas di internal partai, tapi juga masuk dalam kehidupan sosial masyarakat dan bahkan sampai bangku-bangku pendidikan. Ini merupakan nilai plus dari partai pasca reformasi ini.

Di bangku sekolah, seperti halnya di kampus-kampus, pengkaderan PKS dimulai dari lembaga-lembaga dakwah kampus. Bahkan, ada salah satu organisasi ekstra kampus yang berdiri pasca reformasi seolah-olah menjadi underbouw-nya PKS. Entah apakah karena mayoritas alumni organisasi ekstra kampus ini banyak yang masuk PKS, atau apakah organisasi ini memang sengaja diciptakan untuk PKS bisa menancapkan kuku diperguruan tinggi tanpa harus melanggar undang-undang.

Di lingkungan sosial masyarakat, kader PKS juga dikenal militan. Mereka tak segan-segan mengetok pintu rumah warga jika musim pemilu datang. Dengan pakaian yang tentunya islami dan pendekatan dakwah, tentu kehadiran kader PKS ini dengan mudah dapat diterima masyarakat. Dari sekian cerita positif tentang PKS, ternyata tidak banyak yang tahu bagaimana proses kaderisasi berjalan di PKS.

Sewaktu awal-awal kuliah, saya pernah diajak senior untuk mengikuti kegiatan lembaga dakwah kampus, tepatnya pada saat masa-masa orientasi. Sebagai mahasiswa baru, tentunya saya nurut saja jika ada arahan dari senior. Awalnya menyenangkan, karena konsep yang ditawarkan semacam kakak asuh yang bisa membantu saya dalam proses belajar.

Tak berselang lama, saya mulai diajak ke dalam komunitas mereka. Saya mengikuti pengajian-pengajian yang disebut liqo di masjid kampus maupun masjid-masjid sekitaran kampus. Sampai di sini masih belum ada masalah, karena di balik pola kakak asuh dalam belajar dan liqo dalam urusan rohani merupakan perpadanan yang sesuai. Mencerahkan pikiran dan menenangkan hati. Itu pikiran saya.

Seiring berjalan waktu dan intensitas saya bersama kelompok ini, saya mulai melihat geliat-geliat yang kurang berkenan di hati. Senior-senior saya mulai menceritakan dan mempromosikan PKS. Bahkan saya juga melihat banyak buku-buku, modul, atau apapun lah namanya dijadikan acuan senior-senior saya.

Dalam kompetisi kampus, contohnya pemilihan HIMA, BEM Fakultas, BEM Universitas, dan organisasi intra kampus lainnya, barulah saya melihat wajah asli politik PKS, atau saat itu organisasi lembaga dakwah kampus yang diasosiasikan underbownya PKS.

Sebuah majelis dipimpin oleh seorang Murabi. Instruksi dan arahan berasal darinya. Instruksi itu  hanya harus dijalani tanpa ada bantahan. Di sini baru saya mulai sedikit menjaga jarak dengan kelompok ini. Karena pola Murabbi ini pikir saya, tak ubahnya seperti sekte atau agama yang mengkultuskan pemimpinnya tanpa memberikan ruang bagi pengikutnya untuk berdialog dan beragumentasi.

Ternyata, pola ini juga diterapkan oleh sekolah-sekolah keagamaan yang didirikan oleh orang-orang PKS. Contohnya, kejadian salah seorang guru yang dipecat ketika memilih Ridwan Kamil di Pilkada Jawa Barat. Pengakuan guru swasta itu, pihak sekolah menginstruksikan untuk memilih Ahmad Syaikhu-Sudrajat yang diusung PKS dan Gerindra.

Jika PKS terus-terusan menggunakan pola ini dalam kehidupan politik dan sosial masyarakat, maka PKS bisa dikatakan pelopor 'pembunuhan' nilai-nilai demokrasi. Dimana dalam kehidupan berdemokrasi, semua orang, dengan latar belakang apapun, dengan warna kulit apapun, mempunyai hak yang sama dalam memberikan pendapat dan beragumentasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun