Mohon tunggu...
Alex Japalatu
Alex Japalatu Mohon Tunggu... Penulis - Jurnalis

Suka kopi, musik, film dan jalan-jalan. Senang menulis tentang kebiasaan sehari-hari warga di berbagai pelosok Indonesia yang didatangi.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Saya, Radio dan Kenangan-kenangan

5 Desember 2022   08:35 Diperbarui: 5 Desember 2022   15:02 695
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Radio transistor seperti ini yang pernah kami miliki (Sumber: Panasonic.com)

Saya meliput ke Biak di Papua pada Agustus 2020. Tepat pukul 10.00 WIT setiap hari, lagu kebangsaan Indonesia Raya berkumandang dari corong RRI Pro 1 Biak. Saya merasa heroik sekali. Biak yang selalu panas cuacanya, bikin darah Indonesia saya menggelegak. Kita tetap satu Indonesia, kawan!

Ada tiga hal yang saya lakukan ketika datang ke sebuah daerah yang baru yakni: berkunjung ke pasar tradisional, berkeliling naik angkot atau ojek, dan mendengarkan radio. Sebab menurut saya, selain ringan di kantong dan  mudah dilakukan, melalui tiga hal ini saya bisa memperoleh gambaran  tentang sebuah daerah.

Dan radio? Sekarang mudah diakses lewat android, murah dan menjadi hiburan gratis. Praktis tak ada uang keluar.

Kalau saya ke Sumba, apalagi di Sumba Timur, saya pasti mendengarkan Radio Max FM. Saya suka lagu-lagunya. Dus, pas juga kenal pendiri dan pemiliknya, Bung Heinrich Dengi. 

Sampai sekarang saya masih sering mendengarkan Radio Max FM melalui Radio streaming. Terutama ketika Bapak Frans W. Hebi (80) mengasuh rubrik budaya. Dia seperti kamus berjalan saja. Tahu tentang banyak hal. Saya pikir mendengarkan radio melalui internet bisa menjadi pilihan, sehingga radio bisa terus mengudara.

Radio masih dipakai oleh PBB untuk menyampaikan pesan-pesan perdamaian (Sumber: news.un.org)
Radio masih dipakai oleh PBB untuk menyampaikan pesan-pesan perdamaian (Sumber: news.un.org)

Dalam obrolan saya dengan Bung Heinrich, siaran radionya masuk sampai ke pelosok-pelosok yang sangat jauh di Sumba. Pesan pembangunan dari pemerintah kerap disiarkan melalui radionya. Soal vaksin, hama belalang, desa wisata, tenun ikat, pertanian organik, bencana longsor dan sebagainya. Apalagi sekarang dikemas secara lebih apik. Dalam bentuk podcast. Yang bisa disiarkan kembali.

Radio transistor seperti ini yang pernah kami miliki (Sumber: Panasonic.com)
Radio transistor seperti ini yang pernah kami miliki (Sumber: Panasonic.com)

Radio sungguh melekat dalam ingatan saya. Susah dihapus lagi. Karena masa kecil hingga remaja kami (saya dan kakak-adik) pada era 1980-an di Sumba hanya diisi oleh radio. 

Pengalaman ini kemudian dikuatkan ketika saya kuliah di Yogyakarta. Kota Pelajar ini, ketika itu, penuh dengan radio. Tinggal pilih saja. Mau lagu apa, kuis apa. Cerita silat? Lagu-lagu Iwan Fals yang diputar nonstop dari radio di atas bukit sana? Semua ada. Dan juga warganya sangat gemar mendengarkan radio. Terutama siaran-siaran wayang. Beberapa teman saya bahkan bisa "menyambung" uang bulanan yang tak lancar datangnya dengan mengikuti beragam kuis di radio.

Dan ketika masuk ke Jakarta, saya kemudian mengasuh sebuah acara di Radio Pelita Kasih (RPK) di Cawang, Jakarta Timur dalam program "Momen Inspirasi". 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun