Mohon tunggu...
Alex Japalatu
Alex Japalatu Mohon Tunggu... Penulis - Jurnalis

Suka kopi, musik, film dan jalan-jalan. Senang menulis tentang kebiasaan sehari-hari warga di berbagai pelosok Indonesia yang didatangi.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Taman Budaya Landak dan Kota Ngabang yang Sedang Bersolek

12 November 2022   10:22 Diperbarui: 12 November 2022   11:10 1241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rumah Panjang Radakng Aya' di Taman Budaya Landak. Di sini berbagai festival digelar (Foto: Lex) 

Selepas Pontianak kami sudah dihantam hujan deras. Pandangan hanya beberapa meter ke depan. Pas di Ambawang, rumah makan yang biasa ramai dikunjungi penikmat bipang terlewatkan. Tak apalah, masih banyak warung bipang yang lain. Untuk bekal hingga Ngabang, ibukota Kabupaten Landak. Bipang pernah bikin "ribut" orang se-Indonesia Raya. Gara-gara Jokowi menyebut Bipang Ambawang ketika berpidato pada awal Mei 2021.

Hotel tempat saya menginap tak jauh dari Terminal Ngabang. Deretan toko-toko berada di belakang terminal. Menempati beberapa blok. Pagi-pagi, sejak pukul 05.00  sudah ramai dengan orang berjualan. Rupa-rupa jualan mereka. Dari daging babi hingga buah durian. Sayang, dengan durian saya tak tahan baunya.

Waktu menuju  Gereja Salib Suci Ngabang di seberang terminal, gerimis masih turun. Di sini misa dilaksanakan empat kali: Sekali pada Sabtu yakni pukul 18.00 dan tiga kali pada hari Minggu pukul 06.00, 09.00 dan 18.00.

Arsitektur gereja Ngabang dibikin terbuka dengan pintu kaca yang bisa dilipat-lipat pada semua sisinya. Kecuali di bagian altar. Maka tak perlu cahaya listrik ribuan watt. Sinar matahari mampu menerangi seluruh ruang gereja yang bisa menampung 500 orang ini. Bahkan ketika mendung masih menggantung.

Bagi saya, mengikuti misa di gereja-gereja di Indonesia timur, seperti di Ambon, Sambas, Asmat, Rantepao, Merauke, Maumere, Biak dan  Sumba selalu membuat saya lebih bersemangat. Setidaknya bikin hati senang. Sebab buku lagu yang dipakai adalah Madah Bakti. Buku ini terlanjur melekat dalam kepala. Banyak lagu yang saya hafal. Tetapi terutama karena saya tahu sejarah penciptaannya. Apalagi syair-syairnya puitis. Dan dalam misa di Ngabang itu, lagu-lagu pengiring misa dalam gaya Dayak. Saya mendengarkan bagaimana para penutur asli bernyanyi lagu mereka sendiri.  

Terminal Bus Ngabang di Landak, Kalimantan Barat (Foto: Lex) 
Terminal Bus Ngabang di Landak, Kalimantan Barat (Foto: Lex) 

Madah Bakti adalah adikarya PML, Pusat Musik Liturgi di Yogyakarta. Kantor mereka di Jalan Abubakar Ali No.1. Masih dalam rangkaian Gereja Katolik Kotabaru.  Lagu-lagu di dalamnya dihasilkan lewat lokakarya yang rumit dan panjang. Sukar melewatkan nama Pastor Karl-Edmund Prier, SJ & Paul Widyawan (alm) . Dalam bidang musik gereja, keduanya adalah maestro. Ahli sangat! Mereka datang ke daerah-daerah di seluruh Indonesia untuk menggali keindahan lagu-lagu di sana. Juga ke Pulau Sumba. Yang kemudian melahirkan Madah Bakti Suplemen untuk lagu-lagu berirama Kodi, Kambera, Waijewa, Anakalang dan lain-lain.

 Di Ngabang saya tak kenal siapa-siapa. Tetapi suatu ketika saat berada di sebuah SD negeri, ada yang bilang kepada saya bahwa di sini ada seorang guru dari Sumba. Namanya Andre Malo. Dari Namanya saya bisa menebak ia berasal dari Waijewa. Suku ini mendiami bagian tengah Sumba. Pada dataran tinggi. Saya fasih berbahasa Waijewa. Sebab waktu kecil ayah saya pernah menjadi guru di kawasan ini selama 8 tahun.

 Ketika Andre muncul ke sekolah, saya menyapa dalam bahasa ibunya. Ia terkejut. Barangkali heran bisa ada orang Sumba yang datang ke Ngabang? Sejak itu Andre selalu bersama saya ke mana-mana. Berkeliling kota dari ujung ke ujung. Masuk-keluar warung kopi.

 Suatu sore Andre datang ke Dangau Landak, tempat saya menginap. Sudah pukul 19.00.Tetapi Andre ragu mau  ke mana lagi? Pilihan saya, ke cafe. Kalau pasar tradisional adalah salah satu sisi mata uang, cafe sisi yang lain. Kehidupan orang-orangnya dapat dilihat dari sini.

Saya dan Andre (kaos merah). Foto: Lex 
Saya dan Andre (kaos merah). Foto: Lex 

Kami menuju Cafe Legian, di ujung lain kota Ngabang. Ia ditata seperti cafe-cafe di Bali. Beberapa tiang rumah dibalut kain bermotif kotak-kotak putih-hitam. Tetapi menurut Andre pemiliknya bukan orang Bali. Ia teman anggota koor ibu mertuanya. Pengunjung separuh penuh, dengan kursi-meja yang diatur berjauhan. Musik live berupa karaoke. Berisik. Tapi tak soal.

Yang bikin kami ketawa adalah ketika saya bilang ke Andre: "Rupanya saya paling tua di sini, dan dirimu di urutan kedua."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun