Mohon tunggu...
Alex Japalatu
Alex Japalatu Mohon Tunggu... Penulis - Jurnalis

Suka kopi, musik, film dan jalan-jalan. Senang menulis tentang kebiasaan sehari-hari warga di berbagai pelosok Indonesia yang didatangi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

"Tuan, Jangan Telan Bulan Kami" dan Pemali Jari Busuk

8 November 2022   07:11 Diperbarui: 8 November 2022   12:15 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi Gerhana Bulan Total (Sumber:bmkg.go.id) 

Gerhana Bulan Total akan terjadi pada 8 November 2022 selama 1 jam 24 menit 58 detik seperti dikabarkan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) dan dikutip Kompas.com, Selasa (8/11/2022). Puncak gerhana bulan bisa diamati pada pukul Pukul 18.00 WIB/19.00 Wita/20.00 WIT. Seluruh Indonesia bisa mengamati kecuali Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat dan Bengkulu.

Saya ingat lagi pada tahun 1983 ketika terjadi Gerhana Matahari Total dan ada larangan untuk memandangnya secara langsung. Bahkan ini menjadi urusan negara. Menteri Penerangan ketika itu, Harmoko, bikin pengumuman di media massa radio, televisi dan koran. Warga diminta sembunyi dalam rumah dengan pintu tertutup. Alasannya agar tak buta massal. Sebab memandangnya sedetik saja, berarti kebutaan. Hahahaha!

Dahulu siapa yang berani membantah? Sebab "orang tua" yang dihadapi ini rada-rada kejam. Tidak taat Anda dinilai mbalelo!

Tetapi bukan itu yang hendak saya bahas.

Dalam kehidupan sehari-hari di Sumba dan pada banyak daerah di Indonesia, ada banyak kisah tentang gerhana. Juga tabu atau pemali yang menyertainya. Maka di daerah kami ada kebiasaan memukul lesung (kini memukul wajan dan periuk juga) agar sang bulan jangan sampai ditelan oleh raksasa. Sebab ada kepercayaan bahwa seorang raksasa maha besar sedang berusaha menelan bulan, dan suara berisik disertai permohonan "Tuan, jangan telan bulan kami" bisa menghambatnya melakukan hal itu.

Sembari itu, mari kita mengingat lagi ada banyak hal yang menjadi pemali terkait gejala alam, yakni tidak boleh diucapkan atau dilakukan sebab akan menimbulkan malapetaka.

Kalau ada pelangi muncul di kaki langit usai hujan, kami anak-anak dilarang untuk menunjuknya. "Nanti jarimu busuk. Pemali!" seru orang tua kami membentak.  Tanpa memberi alasan mengapa demikian.

Pada banyak daerah di Indonesia, menjahit pada malam hari juga tidak boleh. Maka tak heran kalau jarang ada warung atau toko yang melayani orang yang mau membeli jarum pada malam hari. Biasanya dijawab tidak ada.

Ada pula tabu angka tertentu, misalnya angka ganjil 13. Jarang ada lantai 13 pada gedung bertingkat. Coba cek saja.  Atau mereka hanya pakai angka genap saja. Pada beberapa suku di NTT ada tabu seorang ibu yang baru melahirkan tidak boleh makan daging selama 40 hari. Ditemukan bahwa angka stunting di sebuah kabupaten di Pulau Timor meningkat, salah satu alasannya karena budaya ini.  

Pelangi (sumber:kompas.com)
Pelangi (sumber:kompas.com)

Kalau mau didata, masih banyak pemali-pemali dalam kehidupan suku-suku di Indonesia.

Yang menarik bagi saya adalah, mengapa ada tabu? Bagaimana tabu bisa hidup dalam masyarakat dan apa manfaatnya bagi kehidupan bersama? Mengapa tabu bisa mempengaruhi kehidupan masyarakat kita?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun