Mohon tunggu...
Alex Japalatu
Alex Japalatu Mohon Tunggu... Penulis - Jurnalis

Suka kopi, musik, film dan jalan-jalan. Senang menulis tentang kebiasaan sehari-hari warga di berbagai pelosok Indonesia yang didatangi.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Cerdas Berlalu Lintas: Pertimbangkan Kebodohan Pengendara Lain

4 November 2022   18:46 Diperbarui: 4 November 2022   18:48 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Beberapa perempuan dan laki-laki duduk di atas bak sebuah pickup di Kodi, Sumba Barat Daya, NTT (Foto:Lex) 

Saya menyertakan sebuah foto dari kendaraan di depan kami pada awal Oktober 2022, di luar Desa Mangganipi, Kecamatan Kodi Utara, Sumba Barat Daya,NTT. Serombongan perempuan dan laki-laki duduk di atas bak sebuah pickup yang sudah dimodifikasi. Tampak di sana seekor kerbau juga dimuat. Rombongan ini hendak berpesta ke desa yang lain, berjarak sekitar 14 kilometer. Ketika kami melewati mereka, peer mobil tampak merunduk lurus, karena muatan di atasnya berlebihan. Sopirnya ketawa-ketawa ketika saya membuka kaca mobil dan memotret. Ia melambaikan tangan. Barangkali mau bilang: Ini Sumba, Bung!

Pickup ini bukan kendaraan penumpang. Ia kendaraan yang dipakai untuk angkutan barang. Apapun alasannya, sopir telah melanggar peraturan lalu-lintas. Undang-undangnya saya tak hafal, tapi dari logika sederhana, memang demikian. Tak boleh mobil angkutan barang dipakai angkut manusia.

Saya temukan juga di pelosok Indonesia yang lain, pemandangan seperti ini. Tapi yang yang saya nilai "mewah" juga ada. Seperti di Rantepao, Toraja, mobil pribadi sejenis Toyota Kijang atau Avanza dan Panther, dipakai cari penumpang dan muat barang dan babi dari pasar. Silahkan ke pasar Bolu, sedikit di luar Rantepao.

Kalau sudah malam di desa kami, gelap segera menyungkupnya. Ada listrik dari PLN, tetapi penerangan jalan hampir tak ada. Dalam kondisi seperti itu saya biasanya memilih tidak kemana-mana. Sebab di sana, sangat berbahaya jalan malam karena tiba-tiba saja sebuah motor tanpa penerangan apapun akan menyenggol atau menabrak Anda. Istilah di sana "kerangka berjalan". Entah bagaimana ada orang bisa membawa motor tanpa lampu dan ngebut di jalanan umum? Apakah salah para guru mengajar di sekolah, atau karena kami mengalami gegar budaya, dari tunggang kuda tiba-tiba sudah naik motor?

Di kabupaten kami di Sumba Barat Daya, beberapa kecelakaan fatal dan menyebabkan kematian tragis karena orang ngebut tanpa perhitungan. Tanpa helm. Perlengkapan motor atau mobil yang minim, ia ngebut di jalan yang sepi. Di depannya ada truk, dan ia menabrak pantat truk itu, terpental dan lehernya patah. Saya punya fotonya. Dan Anda tahu, di sana kadang motor direm dengan cara memperlambat jalannya dan direm pakai kaki. Atau dengan memeluk pohon.

SIM? Pasti tak ada. Paling hanya segelintir pengendara saja, terutama para pegawai pemerintah, LSM dan pemimpin agama, pendeta dan pastor dan suster. Selebihnya bergaya cowboy. Begitu polisi akan melaksanakan tilang, jalanan langsung sepi.

Gambaran tentang cara orang berkendara di Sumba menurut saya adalah gambaran warga +62 secara umum. Tidak di desa, tidak di kota. Kita rupanya lebih  suka "berani mati", ketimbang berhati-hati, memperlengkapi kendaraan, ada SIM, sebagai bukti bahwa kita "berani hidup". Para pengendara motor atau kendaraan lain di Depok atau Jakarta hanya duplikat dari apa yang terjadi di Sumba, atau sebaliknya. Entah siapa meniru siapa? Hanya konteksnya yang berbeda. Entah bagaimana, kita menjadi tidak ramah di jalan. Mudah tersinggung, marah-marah, maki-maki? Budaya ramah berkendara belum ada dalam pikiran kita. Yang ada kegemaran melanggar aturan. Barangkali ini juga yang membuat korupsi merajalela.  

Ini lebih dekat fotonya. Bagaimana menurut Anda? (Foto:Lex) 
Ini lebih dekat fotonya. Bagaimana menurut Anda? (Foto:Lex) 

Mau contoh? Coba cek bagaimana kelakuan para pengendara setelah tilang elektronik di terapkan beberapa hari ini.  Ada yang sengaja mencopot plat nomer kendaraannya. Agar tak ketangkap oleh CCTV Polantas. Jadi sebenarnya apa yang salah? Sebab aturan kita sudah punya. Tinggal mentalitas kita saja yang perlu di-upgrade agar lebih beradab dan cerdas berlalu lintas.

Teman-teman selalu mengingatkan saya untuk selalu mempertimbangkan kebodohan pengendara yang lain. Sebab setelah kita sangat berhati-hati agar tak membahayakan pengguna lain, reting kiri ya belok kiri, namun ada saja kejadian jalan kita dipotong, atau melewati dari sebelah kiri, dan sebagainya.

Kalau misalnya SIM dicabut sebagai hukuman, dan seumur hidup tak boleh menyetir seperti di negara-negara maju, apakah mempan di sini? Segala hukuman dan denda perlu diterapkan! Negara ini jangan menjadi hutan rimba ketidakpastian hukum. Sembari kita berharap semakin hari kita kian baik, dalam hal apapun. Juga dalam hal berlalu lintas.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun