Mohon tunggu...
Alex Japalatu
Alex Japalatu Mohon Tunggu... Penulis - Jurnalis

Suka kopi, musik, film dan jalan-jalan. Senang menulis tentang kebiasaan sehari-hari warga di berbagai pelosok Indonesia yang didatangi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Maestro Pewarna Alami dari Sumba

30 Oktober 2022   16:17 Diperbarui: 23 November 2022   05:48 584
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kornelis Ndapakamang sedang menjemur benang yang diikat dan akan ditenun menjadi kain (Foto: Lex) 

Kornelis Ndapakamang (50) tak patah semangat ketika tidak bisa melanjutkan kuliah. Kondisi ekonomi sang ibu tak memungkinkan dia untuk mengenyam pendidikan tinggi.

"Tahun 1994 saya memutuskan berhenti kuliah karena saya tahu orang tua kesulitan dana. Saya pikir bagaimana caranya cari uang dan bisa mandiri," kata Nelis, demikian ia disapa. Saya berkunjung ke rumahnya di Lambanapu, Kecamatan Kambera, Sumba Timur.

"Mama saya perajin tenun ikat dengan pewarna alami. Saya pikir kenapa tidak saya yang teruskan?" begitu Nelis.  

Tetapi ia berpikir, jika menjadi perajin tenun ikat, ia harus tampil beda. Ia mesti menawarkan sesuatu yang baru dan secara konsisten.

"Saya memilih pewarna dari bahan alami karena Mama saya sudah melakukannya sejak muda. Memang prosesnya lebih lama untuk menghasilkan selembar kain, tetapi warna alami tidak mudah luntur asal jangan dicuci pakai deterjen. Harganya juga lebih tinggi," kata dia.

Ia belajar cara mewarnai pada sang ibunda, Agustina Kahi Atanau atau biasa disapa Mama Dan. "Sebenarnya bukan belajar dari nol sama sekali, karena sejak kecil saya sudah ikut mencari dedaunan dan akar pohon sebagai bahan dasar warna biru dan merah. Mama juga punya kelompok tenun ikat Paluanda Lama Hamu. Jalan terbuka lebar untuk saya," aku Nelis semringah.

Yang segera menjadi perhatiaanya adalah ketersediaan tumbuhan pewarna alami. Selama itu, kata dia, tumbuhan pewarna mereka dapatkan dari lingkungan sekitar yang tumbuh secara liar. Belum diusahakan secara sengaja.Jika ingin berproduksi secara kontinyu menurut Nelis, bahan dasar pewarna alami harus selalu tersedia.  

"Padahal kita mau supaya hasil tenun ini kualitasnya terjaga baik dan konsisten dengan pewarna alami. Jadi saya buka kebun khusus untuk menanam indigo atau nila (indigofera tinctoria) untuk warna biru serta pohon mengkudu (Morinda citrifolia) untuk warna merah. Kalau mengkudu kita pakai akarnya. Ini bahan yang dipakai sejak nenek moyang," jelas Nelis. Untuk warna coklat ia memanfaatkan kulit kayu bakau, daun mahoni dan tumbuhan lainnya. 

 "Ada sekitar 30 jenis tumbuhan yang bisa dipakai sebagai pewarna alami. Semua ada di sini, mudah dibudidayakan di lahan sendiri. Tinggal kita tanam saja." Kata Nelis. 

 Tahap berikutnya adalah bereksperimen dengan warna. Ia mencampur beberapa jenis warna untuk menghasilkan warna yang kemudian hari menjadi "identitas"nya. Warna biru dari tumbuhan indigo milik Nelis misalnya, berbeda dengan warna biru perajin tenun yang lain, meskipun dari bahan yang sama. Begitu peminat kain tenun melihatnya, mereka bisa langsung mengidentifikasi bahwa kain tersebut berasal dari kelompok tenun yang menjadi anggota sanggarnya. 

 "Cukup lama untuk bisa dapat warna indigo yang cemerlang. Juga warna merah yang cerah. Kalau formulasinya itu rahasia perusahaan, hahaha," Nelis tergelak. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun