Mohon tunggu...
Alex Japalatu
Alex Japalatu Mohon Tunggu... Penulis - Jurnalis

Suka kopi, musik, film dan jalan-jalan. Senang menulis tentang kebiasaan sehari-hari warga di berbagai pelosok Indonesia yang didatangi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Multatuli dan Sejarah Penginjilan di Lebak, Banten

3 September 2022   09:22 Diperbarui: 3 September 2022   09:30 1425
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Multatuli (Sumber: SlidePlayer.nl) 

Lebak di Banten seperti banyak tempat di Jawa Barat mempunyai sejarah penginjilan yang berat. Meskipun demikian, gereja tetap hadir di sana memberitakan Kabar Baik. 

22 Januari 1857, saat matahari bersinar terang di Rangkasbitung, asisten residen yang baru saja dilantik, seorang Belanda totok, mengangkat pidato di hadapan puluhan petinggi kabupaten Lebak;

"Tapi saya lihat, bahwa rakyat tuan-tuan miskin, dan itulah yang "menggembirakan" hati saya.... Katakan kepada saya, bukankah si petani miskin? Bukankah padi menguning seringkali untuk memberi makan orang yang tidak menanamnya? Bukankah banyak kekeliruan di negeri tuan?"

Eduard Douwes Dekker menyampaikan pidato yang kritis untuk menyindir kebiasaan pegawai pemerintah yang alih-alih membantu rakyat keluar dari kesulitan mereka, tetapi justru membebani rakyat dengan beragam pajak dan pungutan.

Rangkasbitung berjarak 95 km di sebelah barat daya Jakarta. Tetapi meski jauh dari ibukota negara, Rangkasbitung tidak sungguh terpencil. Ia justru sebuah nama yang abadi seiring menjadi klasiknya novel Max Havelaar yang  ditulis Eduard Douwes Dekker atau Multatuli. Latar belakang novel itu adalah Lebak.

Ayah Eduard seorang kapten kapal yang cukup berada. Ia disekolahkan di sebuah sekolah Latin agar bisa meneruskan ke universitas. Tetapi Eduard tidak terlalu menyukai belajar. Akhirnya ia dibawa ke Hindia Belanda oleh ayahnya dan bekerja sebagai pegawai di kantor pengawasan keuangan di Batavia.

Ketika ia ditugaskan  ke Lebak ia sangat  trenyuh melihat bahwa kerja rodi yang dibebankan pada rakyat melampaui batas manusiawi. Panen yang gagal. Pajak sangat tinggi. Sementara korupsi merajalela. Belum lagi praktik pemerasan oleh Bupati Lebak dan para pejabatnya dengan meminta hasil bumi dan ternak kepada rakyat. Kalaupun mereka membelinya, pasti  dengan harga yang sangat murah. Dan Belanda sebagai penyenggara pemerintahan tutup mata terhadap hal ini. Itulah yang ditulis Eduard di dalam novel Max Havelaar. Perilaku pemimpin yang memeras rakyat, meski dengan cara yang berbeda tokh masih terjadi di Lebak meski telah berselang seabad lebih. Pemimpinnya telah diganjar penjara akibat korupsi. 

***

Perjalanan menuju Lebak dari Jakarta berakhir di Stasiun Rangkasbitung. Ini stasiun yang dibangun Belanda pada 1901. Sebuah lokomotif tua diparkir di ujung stasiun, tepat di bawah menara air. Saban hari ada enam kereta yang melayani rute Jakarta-Rangkasbitung-Merak pulang pergi.

Keluar dari stasiun, saya menyusuri jalanan di depan yang penuh  pedagang makanan dan pakaian. Hanya berjarak 500 meter, membentang dari timur ke barat adalah jalan Sunan Kalijaga, nama salah seorang wali tersohor dalam sejarah penyebaran agama Islam di Pulau Jawa.

Di depan terminal yang tak terurus berdiri Vihara Ananda Avalokitesvara yang dibangun tahun 1954 oleh pedagang-pedgang Tionghoa. Di sampingnya adalah Gereja Bethel Indonesia. Tak jauh dari situ, ke arah barat, berdiri  Gereja Kristen Pasundan (GKP) Rangkasbitung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun