Mohon tunggu...
Alex Japalatu
Alex Japalatu Mohon Tunggu... Penulis - Jurnalis

Suka kopi, musik, film dan jalan-jalan. Senang menulis tentang kebiasaan sehari-hari warga di berbagai pelosok Indonesia yang didatangi.

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Sepak Bola Kita: Mendepak Pelatih Memeluk Kapitalisme

26 Agustus 2022   08:00 Diperbarui: 26 Agustus 2022   08:14 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jacksen F.Tiago (Sumber: Tribunnews.com) 

Ada warna baru dalam perhelatan BRI Liga 1 2022-2023 yakni "kegemaran" klub memecat pelatih. Memasuki pekan ketujuh sudah lima pelatih yang diputus kontraknya: Robert Rene Alberts (Persib Bandung), Javier Roca (Persik Kediri), Jacksen F Tiago (Persis Solo), Sergio Alexandre (PSIS Semarang) dan yang terbaru Dejan Antonic (Barito Putera) pada Kamis, 25 Agustus 2022.

Menyimak daftar ini, semua pelatih berasal dari luar. Sementara pelatih RANS Cilegon United Rahmad Darmawan posisinya masih aman meskipun dari 5 pertandingan hanya bisa meraih 2 poin dan belum pernah menang.

Ada beberapa faktor yang bisa menjadi alasan. Tetapi terutama karena prestasi buruk para pelatih, sementara manajemen klub ingin segera mendapatkan manfaat dari mereka. Manajemen menaruh harapan besar prestasi klub bisa terangkat seiring gelontoran dana besar yang sudah diberikan. Ada dana, ada prestasi. Kali ini pameo "uang tak bisa membeli gelar juara" sudah tidak berlaku lagi dalam sepak bola.

Sebab kalau saya berinvestasi 150 miliar rupiah dalam satu musim, misalnya untuk ukuran klub di Indonesia, duit ini harus bisa berputar cepat melalui kemenangan, suporter yang berjubel membeli karcis dan memadati stadion, jersey klub yang dijual, dan beragam keuntungan lainnya.

Ini sebenarnya hanya soal "dagang". Sebab sepak bola sudah menjadi industri. Dan kita tahu dalam segala hal yang berbau industri, "agama"nya adalah kapitalisme. Akumulasi keuntungan harus bisa didapatkan dalam sekejap.

Sebenarnya apa yang terjadi dalam BRI Liga 1 ini menjadi gambaran bagaimana sesungguhnya masyarakat kita bersikap, yakni mengharapkan hasil instan dari hal apapun. Istilahnya "main potong kompas". Kalau mau masuk PTN dan anaknya tidak lulus test resmi, masih ada jalur mandiri yang bisa disogok dengan uang ratusan juta. Kalau mau masuk sekolah atau akademi kedinasan, pasti selalu ada "jalan belakang dengan pelicin". Kalau mau hidup mewah bagi para pejabat pemerintah, korupsi dan tipu-tipu bisa dilakukan. Atau menjadi beking judi karena punya wewenang di bidang keamanan, dan seterusnya.

 Sepak bola bukan lagi perkara bagaimana membangun tim secara bertahap, ada proses di dalamnya, tetapi bagaimana prestasi dicapai dalam sekejap. Maka langkah naturalisasi pemain dilakukan. Membeli pemain-pemain berkualitas dilakukan. Pelatih ternama didatangkan. Peduli amat dengan akademi sepak bola sebagai tempat mekarnya bibit-bibit baru? Tetapi konsekuensinya, begitu Anda tidak berprestasi, dalam sekejap itu pula Anda didepak.

Persib Bandung vs Bali United (Dok.Persib Bandung) 
Persib Bandung vs Bali United (Dok.Persib Bandung) 

Bagaimana Luis Milla yang belum juga menginjakkan kakinya di lapangan Persib Bandung sudah diminta mundur, hanya gara-gara  Persib Bandung kalah dari Bali  United, 2-3?

Dalam kehidupan sehari-hari di tengah masyarakat budaya instan kapitalisme ini sudah bukan hal baru lagi. Ia sudah ada di berbagai lini. Dan diyakini. Dipeluk. Menjadi pegangan hidup.  

Juga dalam sepak bola Indonesia!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun