Mohon tunggu...
Alex Japalatu
Alex Japalatu Mohon Tunggu... Penulis - Jurnalis

Suka kopi, musik, film dan jalan-jalan. Senang menulis tentang kebiasaan sehari-hari warga di berbagai pelosok Indonesia yang didatangi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Gosip Salib pada Injakan Sandal Lily

16 Agustus 2022   08:23 Diperbarui: 16 Agustus 2022   08:44 1057
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Contoh sandal Lily (Sumber: tokopedia.com) 

Pulau Sumba relatif terisolasi hingga akhir tahun 1980-an. Meskipun pulau ini sudah dikenal sejak zaman penjajahan bangsa Portugis pada abad ke-18 sebagai penghasil kayu cendana dan hewan ternak berupa kuda dan kerbau. Kuda Sandelwood amat terkenal sampai kini.  

Pulau ini relatif  "terbuka" tatkala arus informasi dan transportasi udara-laut lancar menyambanginya menjelang akhir tahun 1990-an. Ia kemudian menjadi salah satu tujuan wisata, terutama ketika mendapatkan promosi secara gratis oleh Majalah Focus terbitan Jerman yang memilihnya sebagai "the best beautiful island in the world". Dan Hotel Nihiwatu di tepi pantai Wanokaka di Sumba Barat itu, menjadi hotel dengan tarif termahal di dunia. 

Untuk menginap satu malam Anda mesti ikhlas merogoh kocek dalam-dalam, mulai dari 650 dollar AS (Rp8,5 juta) untuk One Bedroom Villa sampai 12.000 dollar AS (Rp157 juta) untuk Five Bedroom Estate. Monggo!!!

Namun bukan perihal di atas yang hendak saya ceritakan. Tetapi tentang sebuah gunjingan-dari banyak gunjingan lain-yang pernah beredar di sana pada tahun 1980-an, yakni tentang salib pada injakan sandal merk Lily. Hal ini menarik bagi saya, karena HP belum ditemukan saat itu, tetapi gosip menyebar rata dalam masyarakat kami. Kayak berita-berita hoax di zaman digital ini yang merambat lewat gadget.  

Gosip atau gunjingan, tak jelas dari mana ia bermula. Tiba-tiba saja menjadi bahan omongan luas dan (sialnya) dipercaya sebagai kebenaran. Mungkin sebab itu ada istilah "gosip", digosok makin siip. Kita menikmatinya. Televisi memproduksinya. Ada permintaan, ada barang! Uang mengalir. Barangkali begitu cara kapitalisme bekerja?

Yang lahir dan besar di era 1970-1990-an mungkin tahu sandal Lily. Itu sandal yang antara lain pernah beken di Sumba dan mungkin juga di daerah lain di Indonesia. Warnanya kalau tidak biru berarti coklat. Ada juga warna lain, tapi jarang. Modelnya macam selop. Kaki tinggal disorongkan masuk, lalu jalan. Praktis sangat.

Suatu ketika beredar kabar kalau gambar timbul di bagian belakang, pada posisi tumit, adalah gambar salib. Berarti, demikian kesimpulan di sana kala itu, kita sudah menginjak salib selama bertahun-tahun. Ini penghinaan bagi orang Kristen. Dus, agama Kristen, baik Katolik maupun Protestan, adalah agama yang dianut mayoritas warga di sana.Selain agama asli Marapu.  

Mungkin ada yang mau marah. Tapi kepada siapa? Kami juga hanya membeli dari toko. Sementara pabrik di Jawa-tempat barang ini diproduksi-masih "terlampau jauh" untuk dijangkau. Kalau pun bisa dijangkau, Anda mau bikin apa?

Sebab kalau mau boikot, misalnya dengan membuangnya, ambil uang dari mana buat beli yang baru? Sandal masih barang mewah. Hanya guru, pegawai pemerintah, pastor, pendeta dan orang berpendidikan yang mampu membeli. Sandal, apalagi sepatu, punya prestise tersendiri.

Banyak warga yang percaya. Tetapi sayang juga kalau sandal dibuang. Sebab itu dicari langkah praktis: Bagian yang dicurigai sebagai "salib" itu ditempeli besi panas. Agar melepuh. Hilang. Yang diinjak bukan lagi salib, tapi bekas lepuhan besi panas, hahaha!!!

Saya mencari sumber tentang sandal Lily, dan kemudian mencari penerangan ilmiah mengapa gunjingan atau gosip bisa dipercaya.

***

Mulanya sandal ini adalah produksi Jepang yang diimpor ke Indonesia. Distributornya orang Indonesia. Namanya Sasmita. Ketika prinsipalnya di Jepang bangkrut pada 1968, keluarga Sasmita membeli mesin-mesin dan perangkat produksi perusahaan itu dan memboyongnya ke Indonesia.

Sejak itu, sandal Lily diproduksi langsung di Mauk, di Tangerang, di bawah bendera PT Panasea. Guna mengamankan kebutuhan bahan bakunya, keluarga Sasmita mendirikan PT Panarub Chemical (PC) yang memproduksi karet sandal. PC kemudian berkembang menjadi PT Panarub Industry Co Ltd (PI), produsen sepatu Specs. Yang pernah main sepak bola mesti pernah kenal merk ini.

Perihal gambar di tumitnya? Ia sebenarnya tidak berbentuk salib sama sekali. Ia lebih mirip logo dua singa, seperti yang menjadi lambang kota Malang saat ini yang diwariskan dari zaman Kerajaan Singasari. Saya "curiga" principal di Jepang dahulu bekerja sama dengan perusahaan dari Inggris atau negara Eropa lainnya. Hanya negara-negara Eropa yang punya simbol kayak gitu.

Dua singa yang menjadi simbol Kota Malang (sumber: merdeka.com) 
Dua singa yang menjadi simbol Kota Malang (sumber: merdeka.com) 

Mengapa ia mudah dipercaya bahwa itu "salib"? Penerangan ilmiahnya saya dapatkan dari komentar Laras Sekarasih, PhD, dosen Psikologi Media dari Universitas Indonesia tentang "Mengapa Banyak Orang Mudah Percaya Berita "Hoax"?" seperti saya kutip dari Kompas.com (23/01/2017).

Ada dua alasan menurut dia. Pertama, orang cenderung percaya hoax jika informasinya sesuai dengan opini atau sikap yang ia miliki. "Misal seseorang memang sudah tidak setuju terhadap kelompok tertentu, produk, atau kebijakan tertentu. Ketika ada informasi yang dapat mengafirmasi opini dan sikapnya tersebut, maka ia mudah percaya," kata dia.

Alasan kedua menurut Laras adalah terbatasnya pengetahuan seseorang atau sekelompok masyarakat membuat mereka mudah percaya pada gosip atau hoax.

"Tidak adanya prior knowledge tentang informasi yang diterima bisa jadi memengaruhi seseorang untuk menjadi mudah percaya," alasan Laras.

Pengetahuan awal atau prior knowledge seperti dijelaskan adalah sekumpulan pengalaman, sikap, pengetahuan, bahkan keyakinan yang telah dimiliki oleh individu yang diperoleh dari pengalaman sepanjang hidupnya yang akan digunakan untuk mengkonstruksi pengetahuan dan pengalaman barunya.

Ini masuk akal bagi saya, kalau dikaitkan dengan kondisi masyarakat kami di Sumba kala itu. Dus, sekarang dalam masyarakat yang lebih modern saja-yang kita anggap lebih intelek-masih mudah percaya pada hoax. Jakarta menjadi contoh yang baik dalam Pilpres atau Pilkada.

Tetapi bagi saya pribadi, kalaupun itu salib,  ya tidak apa-apa juga. Jangan terlalu sensitif. Yesus tidak menjadi "rendah mutunya" hanya gara-gara itu. Malah saya ambil praktisnya saja: Biar terus diingat kalau yang bikin kaki kita menjadi nyaman dan membuat tampak ganteng dan cantik, adalah salib Kristus.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun