Mohon tunggu...
Alex Japalatu
Alex Japalatu Mohon Tunggu... Penulis - Jurnalis

Suka kopi, musik, film dan jalan-jalan. Senang menulis tentang kebiasaan sehari-hari warga di berbagai pelosok Indonesia yang didatangi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Revitalisasi Adat Kematian dan Perkawinan di Sumba Tmur

2 Agustus 2022   20:16 Diperbarui: 2 Agustus 2022   20:22 330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penandatanganan kesepakatan penyederhanaan adat kematian dan perkawinan (Dok.WVI)

Sejak tahun 2015 WVI sudah menginisiasi penyederhanaan adat perkawinan dan kematian di Sumba Timur. Mereka bekerjasama dengan Forum Peduli Adat (FPA) "Pangadangu Mahamu" dan tokoh masyarakat di setiap desa.

Tujuannya satu: Prioritaskan pendidikan anak-anak. Bukan pesta adat!

Beberapa hari sebelum saya berjumpa Gidion, saya berada di bagian paling selatan kabupaten ini, di Desa Tawui, Kecamatan Tabundung. Ini daerah yang berbatasan dengan lautan Hindia, karena di sebelahnya sudah Australia. Piter Nahu Mara, sang kepala desa, adalah salah satu tokoh yang  sudah melaksanakan deklarasi penyederhanaan adat perkawinan dan kematian  di desanya.

"Maksimal di sini jenazah hanya boleh disimpan di rumah selama 8 hari sesuai kesepakatan bersama. Tuan rumah hanya menyiapkan makanan untuk tamu sebanyak tiga kali saja. Saat kumpul keluarga, pas rembuk soal pemakaman dan saat hari pemakaman," ujarnya.

 Sebab di Sumba Timur ada kebiasaan menyimpan jenzah di rumah selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun, hingga datang "hari baik" ketika seluruh keluarga dikumpulkan dan yang meninggal dimakamkan. Selama jenazah berada di rumah, orang yang datang melayat wajib diberi suguhan.

"Dan itu biayanya bisa sampai 300-500 juta," kata Paulus K. Tarap, salah satu anggota FPA.

Saya jumpa Paulus lagi pertengahan Juli 2022 di Jakarta. Ia sedang mengikuti lokakarya penerima Fasilitasi Bidang Kebudayaan dari Kemendikbudristek. Yang ia usulkan adalah tentang revitalisasi adat perkawinan dan kematian di atas.

"Kita di Sumba sama sekali belum mengutamakan anak-anak untuk sekolah. Orang tua rela berutang untuk acara adat, sementara sekolah anak-anak tidak dipedulikan," kata Paulus.

Penulis bersama Paulus K. Tarap, anggota Forum Peduli Adat Pangadangu Mahamu, Sumba Timur. Dokumen pribadi 
Penulis bersama Paulus K. Tarap, anggota Forum Peduli Adat Pangadangu Mahamu, Sumba Timur. Dokumen pribadi 

Banyak orang tua yang terbelenggu oleh hutang adat, kata dia.

Tokoh lain yang saya jumpai adalah Marius Kuramoki. Ia mantan camat. Sudah pensiun. Seorang keturuan bangsawan. Ia yang pertama menyampaikan ide pembentukan FPA. Sebab ia pernah merasakan sendiri betapa kuliahnya terkatung-katung karena orang tuanya lebih mengutamakan adat, ketimbang ia yang sedang kuliah.

"Karena saya yang usul, saya mulai dari diri sendiri. Dari keluarga sendiri. Mula-mula sangat berat tantangannya. Bahkan dimaki-maki," kata dia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun