Mohon tunggu...
Alexandro Constantine
Alexandro Constantine Mohon Tunggu... Lainnya - An Avid Political Science student.

Interest in human rights, and digital media.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Fenomena Kampanye Online: Upaya Penegakan Demokrasi dalam Situasi Kudeta Militer Myanmar 2021

19 April 2021   14:15 Diperbarui: 19 April 2021   14:16 298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Untuk memulai artikel ini, Saya bersolidaritas dengan masyarakat Myanmar dan keluarga mereka yang dibunuh hanya karena menggunakan hak berkumpul secara damai.

Apa yang terjadi di Myanmar tahun 2021?

Sampai hari ini, para demonstran yang berjuang untuk menegakkan kembali demokrasi dari junta militer Myanmar terus berjatuhan. Menurut catatan Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP), sudah lebih dari 500 demonstran terbunuh di tangan junta militer Myanmar pada bulan April ini. Situasi mencekamkan ini terjadi lantaran militer Myanmar kembali mengambil alih kekuasaan dari tangan pemerintahan masyarakat sipil yang mendukung tegaknya demokrasi.

Kronologinya, pada tahun 2020, partai National League for Democracy (NLD) yang dibangung oleh Aung San Suu Kyii kembali memenangkan pemilu 2021 dengan memperoleh 396 dari 476 kursi di parlemen, mengalahkan partai Union Solidarity and Development Party (USDP) yang merupakan partai yang didukung oleh militer Myanmar. Jenderal Min Aung Hlaing yang memiliki kuasa atas militer Myanmar atau yang disebut dengan Tatmadaw menyatakan terjadi kecurangan pada pemilu 2020, dan menetapkan keadaan darurat pada negara Myanmar selama setahun (Tempo, 2020).

Pada Februari, Suu Kyi, Presiden Win Myin, beserta tokoh politik lainnya ditahan oleh militer Myanmar atas perintah Min Aung Hlaing. Min Aung Hlaing mengambil alih semua kekuasaan negara untuk periode setahun ini dalam kapasitasnya sebagai panglima tertinggi, dan segera memprioritaskan dugaan kecurangan pemilu (CNN Indonesia, 2021). Pengambilalihan kekuasaan atau kudeta yang dipimpin oleh Jenderal Min Aung Hlaing ini telah menjadi kemunduran untuk menegakkan demokratisasi yang diupayakan oleh negara Myanmar selama bertahun-tahun. Myanmar telah puluhan tahun dipimpin oleh pemerintahan diktator militer atau yang disebut dengan junta militer. Ketika junta militer berkuasa, kebijakan yang dihasilkan memiliki ciri khas berupa menghilangkan nilai-nilai demokrasi dan menggantikan tatanan yang bersifat sentralistik (Collins, 2003, p. 27). Tindakan jenderal Min Aung Hlaing yang menyandera tokoh-tokoh politik pro-demokrasi tentunya mengundang amarah publik.

Mengapa junta militer Myanmar dapat mudah mengambil alih kekuasaan?

Melihat tindakan junta militer Myanmar yang dapat mudah menginfiltrasi proses berjalannya demokrasi, tentunya negara ini sudah pasti menganut sistem pemerintahan totalitarianisme. Hal ini merujuk pada karya milik Giovanni Gentile dalam buku Origins of Fascism. Gentile merupakan seorang fasis dari Italia, pemerintahan dictator Benito Mussolini yang menginspirasi Gentile dalam merumuskan bentuk fasisme dan totalitarianisme. Dalam buku tersebut, menggambarkan bentuk pemerintahan dimana tidak ada individu yang melawan -- itulah yang disebut dengan totalitarianisme (Gentile, 2009). Lebih lengkap lagi, sistem pemerintahan yang menganut totalitarianisme mensyaratkan penghapusan hak-hak masyarakat sipil dan ruang publik (Heywood, 2016).  Selain penghapusan hak-hak masyarakat sipil dan ruang publik, pemerintahan yang menganut totalitarianisme mengambil bentuk militer guna merepresi pihak oposisi dan kebebasan politik. Sebagai contoh, pada Pemilu 2015 di negara Myanmar dimenangkan oleh partai National Lague for Democracy (NLD) yang dipimpin oleh Aung San Suu Kyii. Namun, kemenangannya ini tetap diinfiltrasi oleh  militer Myanmar agar Suu Kyi tidak dapat maju menjadi calon presiden (BBC Indonesia, 2015).

Selain menginfiltrasi di ranah pemerintahan, militer Myanmar pun tidak segan untuk menggunakan senjata untuk memukul mundur para demonstran sejak bulan Februari hingga saat ini. Menurut temuan Amnesty International, militer Myanmar menggunakan taktik dan senjata yang semakin mematikan yang biasanya terlihat di medan perang untuk melawan para  pengunjuk rasa. Dengan memverifikasi lebih dari 50 video dari tindakan keras yang sedang berlangsung, Amnesty International dapat mengonfirmasi bahwa pasukan keamanan tampaknya menerapkan strategi sistematis yang terencana termasuk peningkatan penggunaan kekuatan mematikan (Amnesty International, 2021). Banyak pembunuhan yang didokumentasikan merupakan eksekusi di luar hukum.


Lalu apa yang dilakukan masyarakat Myanmar?

Tampaknya, masyarakat Myanmar pun tak gentar walaupun militer Myanmar terus menggunakan tindakan kejinya. Masyrakat Myanmar dengan semangat menegakkan demokrasi melakukan aksi dijalan dengan mengacungkan simbol "tiga jari" dan masyarakat melakukan gerakan mogok bekerja dan memblokir jalan-jalan utama di kota Yangon (Nadira, 2021). Hal tersebut mereka lakukan untuk menuntut junta militer membebaskan Suu Kyii dan jajaran tokoh politik lainnya yang merupakan kubu pro-demokrasi. Dalam hal ini, masyarakat Myanmar dapat dikategorikan melakukan pembangkangan sipil, yang juga dapat ditelisik menggunakan pemikiran milik Henry David Thoreau dalam bukunya yang berjudul Civil Disobedience. Tidak mengherankan jika masyarakat Myanmar melakukan tindakan pembangkangan, karena menurut Thoreau pembangkangan pada dasarnya adalah tindakan moral; yang mana setiap individu pasti akan memberontak jika ada pihak-pihak yang membungkam mereka, dan juga pembangkangan merupkan tindakan yang penting untuk meluruskan tindakan yang mengarah kepada ketidakadilan. Namun tidak semuanya pembangkangan dikategorikan sebagai tindakan yang benar, Thoreau meletakan beberapa kondisi yang harus dipenuhi jika pembangkangan ini dinyatakan benar: pertama, tindakan pembangkangan sipil dianggap benar jika merujuk pada keadilan komunitas, yang mana tindakan ini dilakukan untuk menyingkirkan ketidakadilan. Kedua, pembangkangan sipil ini menjadi jalan alternatif, jika berbagai upaya yang dilakukan dengan kehendak baik mendapat respon yang tidak baik dari para elit atau penguasa. Ketiga, pembangkangan sipil dilakukan ketika masyarakat dalam situasi yang sama gagal memperjuangkan haknya setelah melalui upaya legal. Melalui ide ini lah, dalam negara yang bersifat totaliter, pembangkangan merupakan salah satu jalan untuk menegakkan demokrasi. Namun, hal ini tentunya menjadi kesempatan militer Myanmar untuk melakukan tindakan brutal dalam menekan mundur para demonstran. Strategi pembangkangan sipil ini juga sudah diperhitungkan oleh masyarakat Myanmar, mengingat banyak korban demonstran berjatuhan. Lalu, strategi selanjutnya adalah masyarakat Myanmar menggunakan kekuatan sosial media untuk mengadakan kampanye secara daring guna menciptakan ruang publik digital yang menggadeng juga demokrasi deliberatif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun