Mohon tunggu...
Aldo Fernando
Aldo Fernando Mohon Tunggu... -

Menulis di sela-sela keruhnya keseharian

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kirana, Sang Polwan

25 Januari 2019   10:02 Diperbarui: 25 Januari 2019   10:29 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
The Weeping Woman, 1937 by Pablo Picasso (www.pablopicasso.org)


Aku teringat dengan perempuan itu pagi ini. Entah apa kabar ia sekarang. Aku tak tahu. Aku rindu dengan senyumannya, sikap cueknya dan obrolan-obrolan aku bersamanya yang berputar-putar di perkara lelucon-lelucon receh, seperti soal Uvuvevewueueuwwueueuwu Onyetuevee Ugyemubwem Ossas, Asprinurdin, om telolet om, Akun Resmi Line yang receh, sampai persoalan 'to be or not to be?' ala Hamlet. Ah...

Kejadian pertemuan awalku dengannya bermula sekitar empat minggu lalu.  Saat itu aku, di siang hari yang terik, sedang mengendarai motorku menuju sebuah rumah makan langgananku yang berada di dekat kampus. 

Dengan hanya memakai celana boxer dan kaos oblong berwarna hitam tanpa helm aku meluncur menuju tempat makan untuk menenangkan cacing-cacing di perut yang manja.

Beberapa meter sebelum aku sampai di rumah makan yang  aku tuju, tiba-tiba motorku diberhentikan oleh seorang polwan lalu lintas berseragam lengkap plus rompi hijau 'stabilo' yang memedihkan mata.

"Selamat siang, mas. Boleh saya lihat surat-surat kendaraan bermotornya?" Ia berdiri di sebelah kiriku sambil bertanya dengan wajah ramah dan senyum yang menggoda.

"Iya, selamat siang, mbak. Oh iya, saya tidak sedang membawa SIM, KTP, dan STNK, soalnya saya cuma mau makan hehe," jawabku dengan cengengesan.

"Baik, kalau begitu, silakan pinggirkan motor mas dan kita bicara di dalam pos polisi," perintahnya dengan wajah yang tetap memesona.

Tanpa banyak omong aku langsung meminggirkan motorku dan membuntuti mbak polwan masuk ke dalam pos polisi.

Pos polisi itu berukuran sekitar 3m x 3 m, bercat kombinasi putih-biru secara horizontal dan berbau apek. Asu, kataku dalam hati, bau banget ya. Aku dikagetkan dengan keberadaan satu benda aneh yang terletak begitu saja di meja yang ada di dalam ruangan itu: buku Albert Camus. Seketika tubuhku menggelinjang hebat. Lebay ya?

"Silakan duduk mas," suara mbak polwan membuyarkan perenungan bukan filosofisku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun