Heldo Aura, S.Si., M.IP
Pemerhati Demokrasi dan Budaya
PENDAHULUAN
Kurai merupakan sebuah nagari di Bukittinggi yang keseluruhan masyarakatnya mempunyai hukum adat yang sama. Adanya sebutan kepada seseorang bahwa mereka orang Kurai karena mereka merupakan penduduk asli Kota Bukittinggi.Â
Nagari Kurai terdiri atas lima jorong, yaitu Jorong Tigo Baleh, Jorong Koto Selayan, Jorong Mandiangin, Jorong Guguak Panjang, dan Jorong Aua Birugo. Dahulunya kelima Jorong tersebut diperintah oleh dua orang penghulu kepala, yaitu seorang penghulu kepala untuk memerintah nagari Tigo Baleh, Aua Birugo, dan Koto Selayan, dan seorang penghulu kepala lagi untuk memerintah Mandiangin dan Guguak Panjang.Â
Setelah dilakukan perubahan oleh para pemimpin Kurai, maka tiap-tiap Jorong diperintah oleh seorang penghulu kepala dengan arti kata bahwa tiap-tiap Jorong dikepalai oleh seorang penghulu pucuk.Â
Secara garis keturunan dan ranji adat serta asal-usul nenek moyang, sebenarnya orang Kurai mempunyai pucuk pimpinan yang sama, namun setelah berpisah dan bercerai-berai mendiami perkampungan atau jorong yang baru maka diangkatlah seorang pemimpin suku yang baru. Penghulu atau pemimpin bagi mereka tidak ditunjuk dan ditugaskan begitu saja, tetapi diresmikan dengan sebuah upacara adat  yang sakral (Khaidir, 2018).
Ciri sosial budaya masyarakat Kota Bukittinggi terlihat dari tatanan kehidupan masyarakat yang disebut Kurai Limo Jorong. Karakteristik tatanan kehidupan masyarakat Kurai Limo Jorong tersebut dapat digambarkan dengan adanya (Pokja Sanitasi Bukittinggi, 2007): 1) Nilai-nilai adat istiadat yang terintegrasi dengan nilai agama yang disebut dengan "Sarak Mangato Adaik Mamakai".
 2) Pola kepemimpinan informal yang disebut dengan Tali Tigo Sapilin dan Tungku Tigo Sajarangan  yaitu niniak mamak, alim ulama, dan cadiak pandai. 3) Adanya sistem pemerintahan adat (struktur keruangan dan kelembagaan nagari yang masih hidup) yang secara hirarkis terlihat dari adanya Penghulu Pucuak yang dikenal dengan Panghulu Pucuak Nan Duo Puluh Anam, Ninik Mamak Pangka Tuo Nagari serta Ninik Mamak Saratuih.Â
4) Alim ulama sebagai unsur pimpinan masyarakat yang mempunyai peranan dalam mengendalikan dan meningkatkan pemahaman dan pengamalan nilai-nilai agama. Lembaga keagamaan yang utama di Kota Bukittinggi yaitu terdapat 8 sidang mesjid sebagai bentuk pilar lembaga keagamaan dalam hal ini Agama Islam.Â
5) Sistem matriakat yang menempatkan keberadaan Bundo Kanduang sangat penting dalam kehidupan masyarakat sebagai tumpuan sistem keturunan dan pewarisan. 6) Semangat dan jiwa kewirausahaan yang telah tumbuh dan berkembang sampai saat ini. 7) Nilai dan semangat kebersamaan serta kegotongroyongan yang diliputi oleh suasana keakraban yang tinggi dan pembauran antara masyarakat asli dan masyarakat pendatang.