Mohon tunggu...
Aldo AlQodri
Aldo AlQodri Mohon Tunggu... Musisi - Konten Kreator

Founder of @bukanmotivator.co Creator of @famousidnetwork Part of @cacakyuklmj | @rakaraki_jatim • • • 📩 : aldoalqodri@bukanmotivator.com youtube.com/aldoalqodri

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Kendali Ideologi Media Disetir Oleh Pemegang Saham

21 Juni 2021   14:40 Diperbarui: 21 Juni 2021   16:04 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Institusi media di Indonesia yang kemudian didalamnya meliputi aspek kepemilikan saham di media (kepemimpinan), ekonomi dan pemasaran media akan sangat menentukan arah tujuan ideologi yang ingin untuk digunakan. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa kebanyakan media pada masa ini mengarah pada pendekatan ekonomi politik media yang kemudian mengakibatkan kurang akrabnya pelaku media kepada etika komunikasi. Etika komunikasi kian dilupakan dan hanya menjadi instrument belaka serta tidak dijadikan pedoman dalam menentukan sebuah program. Kemudian fenomena inilah yang menjadikan etika komunikasi pada pelaku media kini dianggap sudah mengalami reduksi. Pelaku media sebagai profesi telah mengambil jalan pintas dengan ketiadaan penghormatan atas asas praduga tak bersalah atas nama demi kepentingan publik untuk memperoleh informasi, akan semakin menjadikan media massa dan pelaku media sebagai pribadi-pribadi yang dominan dalam merekonstruksi dan memanipulasi realitas sosial.

            Dalam kajian hukum dan media massa, moral dan etika tersebut disangkut pautkan pada kewajiban para jurnalistik antara lain seperti; pelaksanaan kode etik jurnalistik dalam segala aktivitas jurnalistiknya, tunduk pada institusi dan peraturan hukum untuk melaksanakan dengan etiket baiknya sebagaimana ketentuan-ketentuan di dalam hukum tersebut yang merupakan perangkat prinsip-prinsip dan aturan-aturan yang pada umumnya sudah diterima dan disetujui oleh masyarakat. Adapun untuk mencapai pada tegaknya  etika dan berfungsinya hukum maka kedua hal tersebut berfungsi sebagai kontrol sehingga tercapai tata tentram kerta raharja.

Salah satu yang menjadi penyebab aktivitas profesi jurnalistik mengalami kemerosotan dalam kegiatan pengembangannya sebagai akibat dilanggarnya etika dan kode etik profesi oleh sebagian pengembannya. Derap langkah realitas sering diwarnai oleh struktur pemaknaan ekonomi yang dirasakan menghambat idealisme itu. Dinamisme komersial seakan menjadi kekuatan dominan penentu makna pesan dan keindahan (estetika). Logika pasar mengarahkan pengorganisasian sistem informasi. Banyak pimpinan media yang berasal dari dunia perusahaan mau membenarkan logika pasar itu. Seakan kompetensi jurnalisme hanya merupakan faktor produksi yang fungsi pertamanya adalah menopang kepentingan pasar. Realitas pasar ini menggambarkan betapa media massa berada di bawah tekanan ekonomi persaingan yang keras dan ketat.

Hukum persaingan menuntut media massa bisa menampilkan informasi terbaru, tidak didahului oleh media lain. "Slow news, no news" yang menjadi slogan CNN adalah ilustrasi kerasnya tuntutan persaingan antara media. Hanya dengan mempertahankan aktualitas, keuntungan ekonomi bisa diperoleh. Keuntungan ini yang akan menjamin keberlangsungan sebuah media. Aktual, cepat dan ringkas mendefinisikan logika waktu pendek. Pragmatisme ekonomi memaksa media mengadopsi mentah-mentah logika waktu pendek (memburu deadline). Logika ini menuntut pengorganisasian kerja harus tepat waktu, ringkas dan menguntungkan. Logika yang sama juga menciptakan anggapan bahwa informasi yang baik adalah bila didapatkan secara langsung, peliputan langsung, siaran langsung, reportase ke tempat kejadian dan informasi dari sumber pertama.

Dalam media televisi, tingginya rating adalah ukuran keberhasilan. Sedangkan untuk surat kabar dan majalah, kriteria yang berlaku adalah jumlah pelanggan, yang pada gilirannya akan sangat menentukan daya tarik bagi pemasang iklan. Kekhasan yang seharusnya membentuk citra suatu media (media identity) ironisnya justru menyeret masuk ke suatu jebakan. Lebih tragisnya adalah yang sering tidak disadari adalah jebakan mimetisme. Keinginan media untuk memiliki tampilan yang khas yang tidak jarang justru menjerumuskan ke dalam keseragaman. Mimetisme media menunjukkan bagaimana penting/tidaknya pemberitaan sering ditentukan oleh sejauh mana media-media lain dipacu untuk meliputnya. Penentuan nilai pentingnya suatu pemberitaan seolah terletak pada sejauh mana dinginkan oleh media yang lain. Lingkup manuver yang seharusnya dibuka untuk mengolah kekhasannya (jati diri media), akhirnya jati diri itu tidak tercipta karena justru harus menyesuaikan diri (adaptasi) dengan gairah media-media lain.

Reduksi pada profesi jurnalistik itu pun secara sosiologis dapat dikategorikan sebagai gejala patologis, di mana lingkungan sosial yang berkembang sudah tidak menganggap bahwa makna profesi adalah sesuatu luhur dan mulia serta memiliki tanggung jawab sosial yang melekat pada profesi yang diembannya. Dikategorikan sebagai gejala patologis dikarenakan arus konsumerisme, sikap hedonis, pragmatis dan mentalitas instan yang berkembang di masyarakat sudah dianggap sebagai sebuah "kebenaran" dan sesuai dengan tuntutan jaman, sehingga sikap fleksibel terhadap gejala sosial sudah dianggap sebagai sebuah keharusan. Profesi yang telah mengalami reduksi dengan demikian sudah tidak mengedepankan etika keutamaan sebagaimana yang seharusnya dijadikan acuan dalam melakukan aktivitas jurnalistiknya.

Perkembangan yang keliru dan tak terkoreksi seperti ini tentunya akan berpengaruh sekali pada perkembangan profesionalisme dan juga khususnya dalam kehidupan jurnalistik di Indonesia. Pengajaran etika di Indonesia di satu pihak masih amat menekankan materi-materi teknis atas bahan-bahan hukum, dan tetap tak merisaukan hal mensosialisasikan makna profesionalisme melalui pengajaran etika. Sedangkan di pihak lain, perkembangan profesionalisme menurut konsep etika di masyarakat industri yang konsumtif dan hedonis, tidak lagi tertunjang. Akibatnya, pengelolaan hukum sebagaimana di institusi media beserta personil yang terlibat di dalamnya, amat mementingkan segi-segi teknisnya, serta kurang mengacuhkan segi-segi etika profesi yang bersanksi (kecuali untuk maksud-maksud lip service semata-mata) dan terancam jatuh menjadi okupasi biasa semata.

Terhambatnya proses penghormatan atas etika pada profesi jurnalistik dan institusi media sebagai akibat desakralisasi terhadap pemaknaan profesi dan profesionalisme tersebut justru akan semakin menjauhkan cita-cita suatu negara untuk mewujudkan tata tentram kerta raharja. Banyak dari aspek-aspek terpenting dari aturan masyarakat untuk sebagian besar bergantung pada berfungsinya profesi-profesi dengan baik. Kegiatan jurnalistik dan pemberian informasi secara jujur kepada masyarakat luas dilaksanakan dalam suatu konteks profesional. Dalam aturan dan tatanan masyarakat modern, terjalin erat hasil dari berfungsinya profesi-profesi. Profesi-profesi dalam sistem sosial okupasi (pekerjaan) menempati kedudukan yang sangat strategis. Profesi-profesi dan profesionalisme banyak dibicarakan orang tidak hanya terbatas pada soal pengertiannya, melainkan juga telah meliputi soal fungsinya dalam perkembangan masyarakat industrial yang modern.

Dalam ekonomi politik media varian instrumentalisme (sebagaimana etika profesi) menjadi tidak terasa sekali. Hal ini dikarenakan pengaruh perspektif tindakan sosial yang menekankan pada aspek determinisme individual yang melihat perilaku manusia bukan dipengaruhi oleh masyarakat, tetapi masyarakat merupakan produk dari aktivitas manusia melalui tindakan-tindakan individual dan kelompok. Dalam konteks industri televisi, interaksi antar agen dipandang berperan penting dalam menentukan isi program televisi untuk memenuhi tujuan-tujuan personal para agen tersebut. Secara praktis, tujuan personal itu direpresentasikan melalui kekuasaan pemilik saham untuk melindungi kepentingan personalnya. Selanjutnya masih menurut Sunarto (2009) dalam upayanya untuk melindungi kepentingan personal itu, pemilik media menjalin kerjasama dengan agen lain di ranah politik, sosial dan kultural untuk bersama-sama melindungi kepentingan personal (komunal) mereka. Tampaknya, kepentingan personal (komunal) itu seolah-olah lepas dari pengaruh struktur ekonomi, politik, sosial, kultural serta etika yang ada. Determinisme individual semacam ini merupakan kelemahan utama pendekatan instrumentalisme. Hingga di sini pilihan terhadap kecenderungan pemaknaan pendekatan ekonomi politik atau pendekatan etika, sebenranya keduanya tidak memiliki implikasi hukum yang kentara, semuanya dikembalikan kepada masing-masing pribadi yang terlibat dalam aktivitas di institusi media massa.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun