Mohon tunggu...
Cerpen

Mamaku Tante Friska

15 Januari 2018   13:20 Diperbarui: 15 Januari 2018   13:34 1074
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kota Medan yang merupakan salah satu kota terbesar di Indonesia dengan pupolasi penduduk yang besar dan terdiri dari beraneka ragam suku dari berbagai daerah. Hidup di kota ini harus penuh dengan perjuangan. Berbagai problema hidup harus dilalui sebagaimana dialami oleh Rani.

Saya merupakan anak pertama dari perkawinan ayah saya yang bernama Melki yang berasal dari daerah Gunung Sitoli Kabupaten Nias berbadan tinggi semampai, kulit putih, rambut lurus, perawakan wajah mirip orang cina dengan ibu saya  Rianti keturunan suku Jawa yang berasal dari Semarang berwajah ayu, rambut hitam lurus terurai, tinggi sekitar 150 cm. 

Ayah dan Ibu saya bertemu ketika keduanya sama-sama merantau untuk melanjutkan studi di salah satu perguruan tinggi negeri yang ada di kota Medan dengan jurusan dan fakultas yang sama. Perkuliahan yang memberikan waktu untuk bertemu hamper setiap hari menjadikan mereka semakin akrab dan seakan tidak bisa lagi terpisahkan bagaikan sepasang sepatu yang harus bersama kemanapun kaki melangkah. Tiga tahun perkuliahan mereka lalui bersama dan akhirnya status lulusan Diploma tiga pun mereka dapatkan.

Enam bulan kemudian Ayah dan Ibu melangsungkan pernikahan sederhana dihadapan penghulu dan keluarga jauh dari kedua belah pihak karena orang tua mereka masing-masing tidak dapat hadir akibat keadaan ekonomi yang pas-pasan ditambah lagi ketidak setujuan para orang tua Ayah maupun Ibu akan perkawinan tersebut dengan alasan perbedaan suku. Namun dengan kebulatan hati Ayah dan Ibu mereka pun menikah.Saat itu Ayah sudah bekerja sebagai pegawai kontrak disuatu perusahaan swasta sedangkan Ibu bekerja sebagai kasir di sebuah swalayan. 

Dengan penghasilan pas-pasan mereka tinggal dirumah kontrakan berukuran 4 x 8 meter yang letaknya harus menempuh 15 menit dengan berjalan kaki dari jalan besar melalui gang yang hanya bisa dilalui sepeda motor dan tidak beraspal. Berangkat pukul 06.00 wib pagi dan sampai kembali di rumah pukul 20.00 wib. Itulah kondisi setiap hari yang dijalani sambil mempersiapkan kelahiran saya (Rani) anak pertama mereka. Karena kondisi Ibu yang kurang sehat menjelang kelahiran saya, akhirnya ibu  pun memutuskan untuk berhenti bekerja hingga saya lahir. 

Saat itu semua bertumpu di pundak Ayah untuk mencukupi kebutuhan rumah, listrik, air dan kontrak rumah. Terkadang Ibu harus mengutang dulu di kedai dekat rumah dan baru bisa dibayar ketika Ayah sudah gajian.

Lima tahun setelah kelahiran saya, perusahaan tempat Ayah bekerja mulai bangkrut akibat krisis moneter yang menimpa dunia termasuk Indonesia sehingga perusahaan yang bergerak di bidang elektronik itu harus melakukan perampingan tenaga kerja. Ayah adalah adalah salah satu diantara ratusan pekerja yang mengalami PHK (Pemutusan Hubungan Kerja). 

Dengan pesangon 3 bulan gaji yang diberikan perusahaan  kepada Ayah rasanya tidak mungkin bisa bertahan lama untuk membiayai keluarga. Ayah merasa bingung dan tidak bisa berbuat apa-apa. Dengan wajah pucat, lemas dan sedih Ayah langsung duduk di lantai yang hanya beralaskan tikar plastik berwarna biru sambil bersandar ke dinding ruang tamu di bawah jendela dengan kaca nako menghadap ke pintu kamar. Saya dengan rasa polos yang belum mengerti permasalahan yang dihadapi Ayah langsung berlari dan duduk disebelah kirinya sambil bertanya: " Ayah udah jadi beli baju sekolah Rani? Kan sebentar lagi Rani mau sekolah Ayah? Kata mama, kalau ayah udah gajian ayah akan belikan baju sekolah, sepatu sama tas Rani. 

Tapi Ayah hanya diam dengan senyum kecil yang terpaksa merangkul saya dengan tangan kirinya. Ibu yang saat itu sedang melipat kain hasil cuciannya yang sudah kering menunggu digosok besok memandangi kami lalu dengan cepat-cepat menyimpan pakaian itu dalam keranjang di samping kamar dekat lemari plastik kecil tempat pakaian saya, kemudian berdiri hendak kedapur sambil bertanya: " Ayah langsung makan atau mandi dulu Yah? Ibu tadi masak gulai tempe kesukaan ayah". Namun ayah menolak dan berkata dengan logat Niasnya "nanti sajalah bu, belum lapar". 

Ibu merasa heran, kenapa Ayah tidak seperti biasanya ya. Pasti ada sesuatu yang terjadi dengan ayah, gumam ibu dalam hatinya. Lalu ia mendekati kami dan duduk bersandar kedinding kamar  di depan ayah. Ayah ada apa? Ada masalah di tempat kerja Ayah? tanya Ibu.

Dengan menarik napas panjang, ayah menjawab Ibu sambil mengelus-elus kepala saya dan berkata: " ia bu, tadi kami dipanggil Manager personalia lalu menjelaskan tentang kondisi perusahaan seperti yang sudah Ayah ceritakan dua hari yang lalu sama Ibu. Ternyata hari ini pihak perusahaan telah memutuskan untuk melakukan perampingan tenaga kerjanya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun