Mohon tunggu...
Aldi Gozali
Aldi Gozali Mohon Tunggu... Akuntan - A lifelong learner

A true learner who loves to write about business, economics, and finance. | All the articles here are originally taken from https://aldigozali.com. Visit there for more articles. | Twitter: @aldigozali | Email: aldi.gozali@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Untuk Kalian yang Memiliki Bisnis, Berbisnislah secara Etis

19 Oktober 2016   12:54 Diperbarui: 19 Oktober 2016   14:53 274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi etika bisnis (www.demo.gr).

Dunia bisnis sepertinya semakin mencuri atensi masyarakat Indonesia. Hal ini terlihat dari data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) yang menyebutkan bahwa semakin banyak masyarakat kita yang turut memulai bisnis dalam tiga tahun terakhir, menjadikan persentase jumlah pengusaha Indonesia terhadap total penduduknya terangkat ke angka 1,6%. Selain itu, masyarakat kita ternyata memang memiliki ketertarikan yang sangat tinggi untuk berwirausaha, berdasarkan laporan Global Entrepreneurship Monitor tahun 2015. 

Ini menjadi pertanda baik bagi kondisi fiskal kita ke depan mengingat banyak sekali potensi yang bisa negeri ini dapatkan dari peningkatan jumlah pengusahanya, dan terciptanya banyak lapangan pekerjaan dan bertambahnya pendapatan pajak merupakan dua hal yang utama. Namun begitu, kondisi ini juga mengandung tantangan yang perlu diperhatikan dalam perjalanannya: tantangan yang menurut saya menjadi semakin krusial dewasa ini; tantangan yang bisa merusak tatanan suatu usaha bahkan iklim bisnis suatu negara apabila tidak diperhatikan dengan seksama. Tantangan tersebut tak lain adalah etika dari para pelakunya.

Ngomong-ngomong soal etika, tepat rasanya kalau ia dikatakan sebagai satu hal yang sulit dijabarkan. Etika merupakan hal abstrak, yang berkenaan dengan benar tidaknya sesuatu, seperti kata Wikipedia. Ini menjadikannya sarat akan sudut pandang. Namun, jika dikembalikan pada semangat dasarnya, seharusnya manifestasinya tidak akan menimbulkan banyak perdebatan, mengingat apa yang dikedepankan dalam semangat dasar tersebut adalah hal-hal kebajikan, yang utamanya terkait hak, kewajiban, manfaat bagi lingkungan, dan keadilan. Etika dalam konteks apapun semangatnya akan tetap sama seperti itu, seharusnya. Tak terkecuali dengan konteks bisnis.

Yang jadi persoalan, beretika itu sangatlah tidak mudah. Butuh kesadaran diri masing-masing pihak untuk bisa mengejawantahkan etika yang baik. Apalagi jika kita kaitkan dengan konteks bisnis, yang mana faktor rente (keuntungan) bisa menjadi penghambatnya. Berbagai aturan boleh saja diterapkan atau diundangkan, akan tetapi semua itu menjadi tak berarti jika tidak dibarengi dengan kesadaran diri.

Milton Friedman, peraih Nobel Ekonomi, pernah berkata kalau entitas bisnis memiliki kewajiban untuk mencari keuntungan dalam kerangka sistem yang legal. Kerangka yang dimaksud di sini tak lain adalah norma-norma hukum, yang menurut Friedman merupakan etika yang dituangkan secara tertulis. Ini artinya kepatuhan hukum menjadi salah satu ukuran suatu bisnis agar dapat dikatakan beretika (saya katakan salah satu ukuran karena memang tak semua hal etis diatur dengan hukum). Jadi, kalau kita ingin mengevaluasi etika bisnis suatu entitas atau perusahaan, kita bisa mengangkat kepatuhan hukumnya sebagai langkah awal kita. Jika kita dapati suatu entitas bisnis beroperasi dengan tidak mematuhi norma-norma hukum yang berlaku di wilayah operasionalnya, maka sah saja kalau entitas tersebut kita katakan tidak beretika, tentu dengan asumsi semua norma hukum merepresentasikan nilai/semangat etis yang baik, seperti disinggung di atas.

Saya rasa tidak sulit menemukan entitas bisnis seperti itu (yang tak beretika -red) di Indonesia. Anda hanya perlu sedikit berjalan-jalan mengelilingi kota dimana Anda tinggal dan lihat apakah ada entitas bisnis yang menggelar atau menjajakan dagangannya menggunakan trotoar. Mengapa? Karena negara kita memiliki aturan yang sangat tegas yang melarang kita menggunakan trotoar untuk berjualan. Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) mengatakan, setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan gangguan pada fungsi perlengkapan jalan. Mengingat trotoar merupakan bagian dari perlengkapan jalan, sebagaimana pada Pasal 25 ayat (1) huruf g UU LLAJ, maka siapapun yang menggunakannya untuk kepentingan pribadi, termasuk juga berjualan, dapat dikatakan melanggar hukum karena telah mengganggu fungsi perlengkapan jalan. Sanksinya pun secara tegas diatur dalam Pasal 274 ayat (2) dan Pasal 275 ayat (1) UU LLAJ.

Tentu, itu hanya sebuah kasus yang belum mewakili semua hal terkait konteks pembicaraan kita kali ini. Kita mungkin akan mendapatkan lebih banyak sampel entitas yang tak beretika bisnis apabila lingkupnya kita perluas lebih dari sekedar isu trotoar seperti, misalnya, isu penggunaan bahan baku makanan yang kadaluarsa (seperti yang baru-baru ini menerpa salah satu restoran terkenal di Indonesia), pemanfaatan tenaga kerja manusia yang masih di bawah umur, pemakaian iklan komersial yang berbau pornografi, pemalsuan laporan-laporan keuangan, pengemplangan pajak, atau isu-isu lainnya yang dirasa kurang sejalan dengan semangat dasar di atas.

Pentingnya Etika Bisnis

Konsep etika bisnis tentu tidak muncul tanpa sebab. Dahulu kala, di Amerika Serikat (AS), praktik bisnis yang etis sudah mulai mendapat perhatian dan desakan untuk diterapkan, mengingat saat itu perbudakan dan kolonialisme masih banyak mewarnai praktik bisnis di sana. Konsep ini semakin diakui di era tahun 1970 hingga 1980an dimana etika bisnis mulai diadopsi dalam kurikulum di sekolah-sekolah bisnis di AS dan Eropa. Urgensi kebutuhan pada konsep ini semakin mencapai puncaknya pasca terbongkarnya skandal keuangan yang dilakukan perusahaan energi kenamaan AS, Enron, pada penghujung tahun 2001, yangmana menjadi trigger disahkannya Undang-Undang Sarbanes Oxley di sana.

Rangkaian kejadian di atas sesungguhnya merupakan materi yang sering diberikan para pendidik etika bisnis kepada para peserta didiknya di berbagai jenjang pendidikan di Indonesia. Mereka yang pernah mengenyam pendidikan bisnis pasti tahu hal tersebut, terutama skandal Enron yang memang sudah menjadi langganan sebagai contoh kasus dalam hampir semua bahasan etika bisnis. Namun, ini tidak menjadikan etika bisnis eksklusif dan hanya berlaku bagi mereka yang berlatar belakang ekonomi/bisnis saja mengingat setiap orang berhak memiliki bisnis, dan hanya karena Enron telah menjadi patron, bukan berarti konsep etika bisnis hanya berlaku pada entitas bisnis berskala besar saja. Justru, Enron menjadi studi kasus yang “baik” bagi entitas/usaha kelas mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

Barangkali ada dari teman-teman yang belum mengetahui seperti apa skandal Enron, silakan tonton video yang saya lampirkan di bagian akhir artikel ini untuk lebih jelasnya. Namun pada intinya, skandal tersebut dilakukan Enron dengan berbagai trik akuntansi untuk menutupi utang-utang dan kerugian-kerugiannya sehingga profitabilitasnya terjaga dan sahamnya tetap terlihat menarik di mata para investor. Praktik curang ini menjadi semakin “cantik” dengan terlibatnya Arthur Andersen, kantor akuntan publik (KAP) yang menjadi rekanan Enron pada saat itu, hingga keadaan tak lagi berpihak pada mereka dan skandal pun terungkap. Beberapa petinggi baik dari Enron maupun Arthur Andersen pun kemudian dinyatakan bersalah dan dijebloskan ke dalam penjara. Kedua entitas tersebut pada akhirnya harus merelakan bisnisnya berakhir, dimana Enron dinyatakan pailit oleh pengadilan dan Arthur Andersen dicabut izinnya sebagai KAP oleh otoritas setempat. Kebangkrutan mereka itu lalu menimbulkan persoalan baru yang tak bisa dianggap sepele, seperti: ribuan pegawai kehilangan pekerjaannya, hilangnya hak para pemegang saham yang bernilai miliaran dolar, hingga terguncangnya pasar saham AS akibat keresahaan yang ditimbulkan skandal keuangan itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun