Mohon tunggu...
Aldi Gozali
Aldi Gozali Mohon Tunggu... Akuntan - A lifelong learner

A true learner who loves to write about business, economics, and finance. | All the articles here are originally taken from https://aldigozali.com. Visit there for more articles. | Twitter: @aldigozali | Email: aldi.gozali@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Globalisasi Stimulus Moneter Berlabel Quantitative Easing

9 Agustus 2013   09:53 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:29 935
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13760172261543801203

Merangsang ekonomi dengan cara mendongkrak konsumsi menjadi senjata utama suatu negara agar terbebas dari belenggu krisis beberapa tahun terakhir ini. Negara-negara kuat seperti Jepang, Amerika Serikat (AS), dan Uni Eropa (UE) tercatat menggunakannya. Tak mengherankan jika kemudian program yang dilabeli Quantitative Easing atau QE ini menjadi perhatian utama para pelaku bisnis dunia.

Meskipun bukan barang baru dalam dunia keuangan, program berlabel QE ini sejatinya baru tenar pada akhir tahun 2008. QE sering ditafsirkan sebagai stimulus moneter yang fungsinya sebagai pendongkrak konsumsi masyarakat. Namun, jika boleh disederhanakan, QE ini hanyalah kegiatan mencetak uang oleh bank sentral. Bank sentral menggelumbungkan neracanya (balance sheet) dengan uang yang dicetak secara masif yang kemudian disuntikkan ke dalam sistem perbankan guna melimpahi pasar dengan likuiditas. Oleh sebab itu, QE pun sering diartikan sebagai pelonggaran likuiditas.

 

Motif Utama Stimulus

Dalam teori The Classical Quantity Theory of Money, Milton Friedman, peraih Nobel Ekonomi tahun 1976, menerangkan bahwa salah satu acuan pertumbuhan ekonomi suatu negara dapat dilihat dari pendapatan riilnya---Produk Domestik Bruto/PDB (Gross Domestic Product/GDP). Friedman pun menjelaskan bahwa pertumbuhan PDB senantiasa dipengaruhi oleh dua variabel yaitu peredaran uang (money supply: M) dan kecepatan dalam perputarannya (velocity of money: V), atau secara singkat: GDP = MV. Inilah yang diyakini para ekonom sebagai motif di balik "drama teatrikal" bertajuk Quantitative Easing.

Stimulus biasanya digunakan ketika perekonomian berada dalam kondisi yang berbahaya (krisis). Krisis seringkali menciptakan kepanikan yang membuat orang-orang lebih senang menyimpan uangnya ketimbang membelanjakannya. Keynesians (sebutan untuk penganut paham Keynes) percaya hal ini akan merusak keseimbangan pada sisi expenditure dalam persamaan PDB yang memuat variabel-variabel seperti konsumsi (private consumption: C), investasi (gross investment: I), belanja pemerintah (government spending: G), dan ekspor-impor (X-M). Jika sisi ini terganggu, perputaran uang (V) akan melambat, pertumbuhan ekonomi pun turut tersendat.

Sebagai ilustrasi: jika seseorang membelanjakan uangnya dan si penerima juga kemudian membelanjakan uangnya, uang tersebut memiliki V sebesar dua karena telah dibelanjakan dua kali. Namun, jika uang tersebut tidak dibelanjakan melainkan hanya disimpan di bank, V-nya sama dengan nol karena uang tersebut tidak berputar sama sekali. Ilustrasi kedua inilah yang sama sekali tidak disenangi para pemikir post-keynes: uang yang tidak berputar berarti tidak produktif dan akan merusak komponen perubahan harga (price changes: P) dan pertumbuhan riil (real growth: y) yang dapat berujung pada perlambatan laju ekonomi atau bahkan deflasi. Teori ekonomi Keynes---didukung teori ekonomi moneter---tidak memperkenankan hal semacam ini sehingga stimulus menjadi anjuran.

Melancarkan stimulus (Quantitative Easing) berarti menambah M di pasaran guna menalangi V yang melambat. Pertanyaannya kemudian, mengapa fokus pada M, bukannya V? Ini dikarenakan V merupakan variabel yang tak dapat dikontrol oleh siapa pun. Velocity merupakan faktor psikologis yang bergantung pada sikap masing-masing individu (atau pelaku pasar secara agregat) dalam menilai prospek perekonomian. Prospek yang suram akan menghambat konsumsi. Konsumsi yang terhambat akan mengurangi investasi. Minimnya investasi dapat menekan belanja pemerintah. Jika sudah begini, siklus bisnis terganggu, ekonomi pun sendu.

 

Pengaruh terhadap Dunia Global

Jika globasiasi adalah integrasi, maka globalisasi ekonomi adalah terintegrasinya ekonomi. Artinya, terdapat keadaan dimana negara-negara saling terhubung pada suatu sistem baik itu melalui jalur perdagangan (trade channel) maupun jalur finansial (financial channel). Mengaitkan dengan quantitative easing, buah paradigma yang inflation-oriented ini nyatanya berimplikasi tak hanya sebatas pada persoalan domestik negara penggunanya melainkan pula pada persoalan global.

Ambil contoh AS. Di negeri Om Sam, QE dilakukan melalui mekanisme yang kompleks: bank sentral---The Fed---melakukan pembelian surat utang (treasury bond) melalui perantara (primary dealers)---terdiri dari beberapa institusi keuangan besar seperti Goldman Sachs, Citi Bank, J. P. Morgan, dll---yang bebasis global, mulai dari institusi keuangan sampai bank sentral negara-negara lain. Lalu, dengan berbagai trik sulap, primary dealers menjaring entitas-entitas tadi untuk membeli kembali surat utang dengan iming-iming yield yang lebih tinggi ketimbang yang ditawarkan The Fed. Setelah itu, hasil penjualan surat utang akan dikonversikan ke dalam bentuk dolar yang nantinya akan digunakan pula sebagai alat pembayaran atas yield yang ada. Inilah cikal bakal mengglobalnya dampak dari QE.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun