Mohon tunggu...
Aldi Alparando
Aldi Alparando Mohon Tunggu... Ilmuwan - Penulis Pemula

Lahir 5 Maret 1998 di Ampah, Kalimantan Tengah. Sedang menempuh Pendidikan Sarjana di IPB University

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Hidup Bersosial dalam Keragaman

9 Agustus 2019   08:41 Diperbarui: 10 Agustus 2019   21:19 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Keragaman atau yang sering disebut sebagai multikulturalisme merupakan istilah yang umum diketahui oleh berbagai kalangan masyarakat di Indonesia untuk memaknai kehadiran masyarakat yang majemuk di dalam sistem kehidupan sosial. 

Keragaman ini tidak pernah lepas dari sejarah perjuangan bangsa Indonesia bahkan menjadi salah satu penopang berdirinya Indonesia sampai sekarang. Bukan hal yang yang aneh jika sampai saat ini kita hidup di dengan suku, agama, ras, dan antar golongan yang beragam. 

Kehidupan sosial kita dipupuk untuk terbiasa menerima, dan menghargai perbedaan ini. Secara luas, masyarakat di Benua Amerika memaknai keragaman atau multikulturalisme sebagai bentuk kesediaan untuk menerima kesetaraan dan kesamaan hak bagi setiap warganya sebagai respon atas adanya isu diskriminasi terhadap beberapa kalangan etnis dan kelompok minoritas. 

Sementara di Negara-negara Eropa memaknai multikulturalisme ini sebagai bentuk pengakuan terhadap hak kelompok-kelompok yang dimarjinalkan karena perbedaannya.

Masyarakat yang majemuk saat ini membawa latar belakang yang beragam sesuai karakteristik masing-masing, disinilah terdapat peluang besar bagi kita untuk mampu mengasah kepekaan kita akan keragaman sosial tersebut. Keadaan menerima, mengakui, dan menghargai keragaman ini disebut sebagai toleransi. 

Rasa toleransi tidak lahir serta merta tanpa adanya keinginan untuk menginternalisasikannya ke dalam diri masing-masing. Toleransi ini dipupuk sedemikian rupa seiring dengan perkembangan zaman dan kondisi lingkungan tempat kita tinggal. Namun, sangat disayangkan saat ini masih banyak permasalahan terkait mempertahankan toleransi ini. 

Terkhusus di Indonesia, krisis toleransi ini masih menjadi permasalahan serius perihal kehidupan sosial. Sebagai contoh, anak-anak usia sekolah dasar yang mengolok-olok temannya dari latar belakan etnis yang berbeda, adanya larangan untuk beribadah bagi agama tertentu, dan perkelahian antar etnis bahkan karena masalah yang sepele.

Permasalahan ini umumnya terjadi karena sebagian masyarakat Indonesia masih sulit untuk mampu menginternalisasikan nilai-nilai keragaman itu di dalam kehidupan sosial. 

Adanya rasa mendominasi, lebih unggul dari kelompok lain, dan stereotype tertentu yang dibangun terhadap kelompok tertentu yang belum tentu valid kebenarannya akan memicu permasalahan toleransi ini untuk terus muncul. Bahaya laten ini perlahan akan merusak karakter bangsa Indonesia yang sudah lama dibangun di atas dasar keragaman atau multikulturalisme.

Masalah-masalah yang menyangkut multikulturalisme ini mesti diselesaikan dengan cara yang bijak dan tepat sasaran sehingga meminimalisir adanya kerugian bagi beberapa kelompok. 

Berpegang kepada nilai-nilai Pancasila sebagai pedoman hidup sebenarnya sudah cukup untuk memahami identitas Indonesia. Hanya saja penguatan nilai-nilai Pancasila itu perlu didukung oleh semua kalangan. 

Berbagai unsur seperti pemerintah, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan kelompok pemuda dianggap memiliki peran besar untuk menyelesaikai gejolak ini. 

Meniadakan sifat free rider dan apatis bagi permasalahan sosial merupakan salah satu cara untuk mengatasi permasalahan toleransi ini. Semua unsur harus berkoordinasi dengan baik untuk memberi hasil yang baik.

Gerakan nyata yang mampu dilakukan saat ini adalah penguatan nilai-nilai keragaman yang bisa disisipkan dalam mata pelajaran tertentu tanpa mengubah tatanan kurikulumnya dan intensifikasi budaya gotong royong setidaknya dalam skala kecil, hal ini mungkin terlihat kecil namun mampu memberi dampak personal touch akan kepekaan sosial bagi tiap individu. 

Gerakan pemuda di era modern sangatlah besar untuk menjadi pilar penguat budaya toleransi terutama berbasis digital. Keberadaan startup platform dan media sosial berbasis pendidikan kognitif dan karakter telah member dampak besar bagi banyak kalangan di Indonesia.

Gerakan berbasis digital seperti aplikasi games di gawai yang memuat konten kuis-kuis tentang suku dan budaya, workshop pendidikan karakter, dan outbond yang biasanya mampu mempererat hubungan kekeluargaan di dalam keragaman tersebut mesti di sesuaikan pula dengan konteks era ini. Mungin saja benberapa orang masih cocok dengan  metode konvensional tapi sebagian besar mungkin sudah kurang relevan.

Hidup berdampingan dengan berbagi perbedaan memang memiliki tantangan tersendiri, namun inilah perjuangan yang membuatnya terlihat indah. Proses kita untuk mampu menerima, mengakui, dan menghargai keragaman itulah yang akan membuat kita semakin dewasa di dalam tatanan kehidupan soaial. Seperti pepatah yang mengatakan bahwa kita bisa karena sudah biasa. 

Hal inilah yang menandakan kita mesti memiliki tenggang rasa untuk menginternalisasikannya ke dalam pola pikir dan tidakan masing-masing. Maknai semuanya sebagai upaya positif untuk membangun bangsa ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun