Mohon tunggu...
Aldentua S Ringo
Aldentua S Ringo Mohon Tunggu... Pengacara - Pembelajar Kehidupan

Penggiat baca tulis dan sosial. Penulis buku Pencerahan Tanpa Kegerahan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Refleksi: Kartini (The Power of Writing) vs Mahasiswa (Demonstrasi)

21 April 2022   13:06 Diperbarui: 22 April 2022   18:20 277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Menulis, sebuah kata yang sederhana, namun sarat makna dan manfaat. Sudah banyak tulisan tentang manfaat menulis. Dari berbagai sisi dan perspektif, menulis adalah sebuah seni.

Ada beberapa hal yang bisa kita kaitkan dengan menulis.

Pertama, kegiatan menulis bisa mendorong seseorang untuk membaca. Menulis dan membaca adalah saudara kembar. Dengan proses menulis dan membaca bisa membuat seseorang hidup lebih bersemangat.

Kedua, dengan menulis akan membuat orang terhindari kepikunan. Jadi bisa disebut orang yang rajin menulis akan selamat dari kepikunan. Anti pikun.

Ketiga, menulis bisa mengaktualisasikan diri. Melalui tulisan banyak orang menjadi terenal dan dikenal. Tulisan yang baik dan bermanfaat akan melahirkan pembaca setia.

Keempat, menulis tulisan bisa sebagai media atau sarana penyampaian pesan. Penulis mengirimkan pesan melalui tulisannya.

Masih banyak hal yang bisa kita jelaskan tentang menulis ini. Ada satu hal yang menarik tentang menulis, jika dikaitkan dengan perayaan Hari Kartini hari ini.

Kartini, sebagai seorang perempuan turunan bangsawan,  ayahnya seorang  bupati di Jepara. Namun karena dia lahir sebagai seorang perempuan, dia tidak diizinkan melanjutkan Pendidikan seperti saudaranya laki-laki. Dia berhenti sekolah. Lalu dipingit di rumah.

Nah, Ketika dipingit inilah Kartini memikirkan dan bagaimana dia menghadapi masalah ini. Dia harus tunduk terhadap aturan keluarga yang masih feodal, namun dia harus memperjuangkan nasib kaumnya yang menggelora di hatinya.

Memang badannya terkurung di rumah karena dipingit. Kalau sekarang mungkin istilah hukuman adalah tahanan rumah. Badannya terkurung di rumahnya, namun pikirannya merdeka dan menerawang dengan impian perjuangan bagi kaumnya. Bagaimana meruntuhkan diskriminasi dan pengekangan terhadap perempuan. Bagaimana supaya perempuan memiliki hak yang sama untuk menikmati pendidikan lanjutan.

Lalu bagaimana dia memperjuangkan semua impiannya? Mungkinkah dia memberontak dan belajar berperang? Yang dilawannya bukan siapa-siapa, tetapi orang terdekatnya, orang tuanya, masyarakatnya dimana dia ada. Budaya yang melekat di sukunya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun