"Emangnya Kotak kosong ini peserta pemilihan, makanya ada dalam kertas surat suara?" tanya Sang Cucu.
"Ya, dia menjadi salah satu pilihan, supaya memenuhi syarat sebagai suatu pemilihan," jawab Sang Kakek.
"Kalau dia bisa dipilih, kalau kotak kosong menang, berarti kotak kosongnya menjadi kepala daerah?" tanya Sang Cucu.
"Bukan kotak kosongnya yang menjadi kepala daerah. Tapi kepala daerah menjadi kosong," jawab Sang Kakek.
"Lho, bagaimana kelanjutan daerah tersebut? Padahal Pilkada dilakukan di era pandemi demi adanya kepastian hukum dan adanya kepala daerah yang tetap dan bisa mengambil keputusan strategis," kata Sang Cucu.
"Peraturan mengatur juga mengisi kekosongan tersebut. Karena satu-satunya calon yang ikut Pilkada tersebut ternyata tidak mendapat kepercayaan dari masyarakat yang ikut pemilihan tersebut. Yang menentukan kepala daerah adalah pilihan rakyatnya. Menteri Dalam Negerilah yang berwenang mengangkat Pejabat Sementara atau pelaksana Tugas sampai ada pilkada berikutnya," jawab Sang Kakek.
"Berarti bukan hasil Pilkada dong yang menentukan kepala daerahnya," kata Sang Cucu.
"Ini kan hasil Pilkada. Memilih kotak kosong. Kotak kosong diisi oleh Menteri Dalam Negeri sesuai peraturan hukum mengisi kekosongan tersebut," kata Sang Kakek.
"Kenapa sih kok sampai terjadi satu pasangan calon dan ada Kotak Kosong tersebut kek?" tanya Sang Cucu.
"Ini bisa terjadi karena adanya keinginan seseorang kepala daerah untuk memborong partai politik sebagai kendaraannya dalam rangka menjegal kompetitornya. Dengan memborong partai, maka sebagai calon satu-satunya dia berharap akan terpilih menjadi kepala daerah. Bisa juga karena terjadi kartel politik atau kesepakatan para penguasa partai politik untuk menetapkan calon tunggal agar mereka lebih mudah memenangkan dan bisa mengklaim kemenangan tersebut. Tidak ada yang kalah. Dan semua ikut ambil bagian," jelas Sang Kakek.
"Siapa yang kampanye dan membiayai kampanye untuk terpilihnya kotak kosong tersebut?" tanya Sang Cucu.