Mohon tunggu...
Aldentua S Ringo
Aldentua S Ringo Mohon Tunggu... Pengacara - Pembelajar Kehidupan

Penggiat baca tulis dan sosial. Penulis buku Pencerahan Tanpa Kegerahan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Dinasti Politik di Era Demokrasi ala Indonesia

21 Juli 2020   23:35 Diperbarui: 21 Juli 2020   23:35 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dinamika politik Indonesia tiba-tiba bergemuruh pasca keluarnya rekomendasi DPP PDIP kepada Gibran dalam Pilkada Solo. Tuduhan politik dinasti dan dinasti politik diumbar dan dialamatkan kepada Presiden Jokowi.

Ada yang mengatakan ini menyalahi paham demokrasi. Ada pula yang mengatakan ini menyalahi hukum. Ada pula yang mengatakan ini legal tapi tidak etis. Ada elit parta Demokrat yang panas dan ada yang menyampaikan berbagai tuduhan.

Yang lebih menarik lagi, ada yang meramalkan bahwa Gibran tidak mungkin menang. Apalagi kalau melawan kotak kosong. Ada pula yang mengatakan, yang menang dan kalah nanti adalah Jokowi. Sangat beragam pendapat, itu pertanda bahwa pemikiran dan sikap pro kontra masih tetap terpelihara di alam demokrasi.

Pertanyaannya, apakah pasal hukum yang dilanggar Gibran dalam pencalonannya direkomendasi DPP PDIP? Sulit kita mencari pasal mana yang dilanggar. Apakah ada larangan hukum yang melarang anak presiden atau anak Menteri mencalonkan diri menjadi calon kepala daerah? Jawabannya tentu saja tidak.

Secara etika, apakah seorang anak presiden menyalahi etika, jika mencalonkan diri sebagai calon walikota? Bisa kita perdebatkan dan bisa kita diskusi berkepanjangan dan tak ada habisnya.

Pertanyaan kita tingkatkan, apakah dinasti politik bertentangan dengan demokrasi. Kita sering mengagungkan Amerika Serikat sebagai negara demokrasi di dunia. Apakah di Amerika ada dinasti politik? Jawabnya ada. Bagaimana keluarga Kennedy berkuasa di berbagai jabatan. Bagaimana George Bush mempersiapkan anaknya George Walker Bush menjadi presiden kemudian setelah jeda dengan Demokrat. Bagaimana Hillary Clinton maju sebagai kandidat presiden setelah suaminya dua periode presiden.

Kalau di Amerika Serikat dengan paham demokrasi bisa, kenapa di Indonesia yang ikut menyebut negara demokrasi tidak boleh dinasti politik?

Apakah AHY yang menjadi Ketua Umum DPP Partai Demokrat menggantikan ayahnya bukan dinasti politik? Lalu kenapa elit partai Demokrat seakan panas hati dan protes? Apakah Puan Maharani menjadi pengurus di DPP PDIP dan menjadi Menteri dan ketua DPR bukan dinasti politik? Apakah anak Amien Rais yang menjadi pengurus di PAN yang didirikan ayahnya dengan kawan-kawannya bukan dinasti politik?

Suka tidak suka, dalam praktek demokrasi di Indonesia, dinasti politik itu terjadi. Di tingkat daerah banyak dinasti politik yang terjadi, seperti di Banten, Di Kalteng dan Sulawesi dan berbagai daerah yang lain di Indonesia. Dinasti politik sudah menjadi bagian dari demokrasi Indonesia.

Lalu kenapa soal Gibran ini banyak yang seakan tersentak dan menimbulkan kegaduhan seakan terjadi kebakaran jenggot? Apakah karena Gibran hanya penjual martabak dan pisang goreng yang tidak mempunyai pengalaman di pemerintahan?

Ayahnya Jokowi dulu juga dari pengusaha kayu maju menjadi calon Walikota Solo bsa menang dan dua periode, walau tidak sampai tuntas periode keduanya. Apakah Gibran ini sangat menakutkan bagi para calon presiden masa mendatang? Padahal Gibran belum tentu bisa seperti bapaknya sukses. Siapa yang tahu?

Ada yang menyesalkan Jokowi, kenapa Gibran tidak dipasangkan dulu sebagai wakil walikota dan Purnomo sebagai calon walikotanya? Toh Purnomo sudah pengalaman dan senior dan sekarang menjabat sebagai wakil walikota Solo.

Ada lagi yang menyesalkan Jokowi yang tidak sabar untuk menunggu turun dulu dia dari tahta kepresidenan baru mencalonkan anaknya. Kenapa tidak ditiru SBY yang mencalonkan AHY menjadi Calon Gubernur DKI Jakarta setelah dia turun dari tahta kepresidenan. Kok yang gagal harus ditiru? Jangan-jangan Jokowi belajar dari hal tersebut.

Jika perjalanan demokrasi Indonesia sudah diwarnai dinasti politik, atau telah menjadi pengalaman empiris kita sebagai bangsa, lalu kenapa pencalonan Gibran ini harus kita ributkan? Dinasti politik telah menjadi bagian dari perjalanan demokrasi ala Indonesia, marilah kita ikuti.

Yang perlu disampaikan bahwa Jokowi jangan menggunakan fasilitas negara untuk mendukung anaknya menjadi walikota Solo. Sulit mengatakan itu tidak mungkin tidak menggunakan fasilitas negara. Namun presiden Jokowi belumlah termasuk pejabat yang sering menyalahgunakan kekuasannya demi kepentingan keluarganya. Jika dibandingkan dengan presiden sebelumnya, Jokowi masih menjaga diri untuk tidak memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan keluarganya.

Jika Jokowi termasuk Presiden yang masih relatif bisa menjaga pemanfaatan jabatannya untuk keluarganya, maka harapan kita, untuk Pilkada Solo hal tersebut hendaklah dijaga terus. Bahwa nanti kalau Gibran menang di Pilkada Solo karena jerih payahnya dan juga dukungan mesin politik PDIP yang menguasai kursi DPDR Solo sebanyak 20 kursi dari 35 kursi, apakah salah?

Mungkin orang akan menuduh Jokowi ikut bermain sehingga anaknya menang. Sebagai ayah dia pasti mendukung anaknya. Namun kalau dia tidak menggunakan fasilitas negara untuk mendukung anaknya, tidak bisa disalahkan. Bahwa ada pengaruh orang memilihnya karena dia anak presiden, kesalahan tidak adil jika kesalahan dialamatkan kepada Jokowi.

Pengaruh sebagai anak presiden memenangkan Pilkada Solo tidak bisa dipungkiri. Seperti apa yang dikatakan Purnomo, dia tahu Gibran yang akan direkomendasi karena dia anak presiden dan masih muda, sementara dirinya sudah tua. Inilah namanya keadilan distributif.

Dinasti politik bisa dimaklumi dan diterima dalam kehidupan demokrasi, sepanjang mengikuti aturan main dalam perekrutan. Tidak main tunjuk dan pengangkatan langsung sebagai penggantinya secara turun temurun. Dinasti politik di era demokrasi berbeda dengan di era kerajaan yang langsung ditunjuk dan turun temurun.

Kita tentu saja keberatan jika Jokowi langsung mengangkat anaknya menjadi presiden penggantinya, selain melanggar aturan, itulah namanya dinasti politik murni. Bagaimana dengan AHY yang langsung menggantikan ayahnya sebagai Ketua Umum Partai Demokrat. Kan masih lebih elegan Gibran maju sebagai calon walikota di Solo. Tidak langsung menjadi Calon Presiden tahun 2024 menggantikan ayahnya sebagai presiden.

Mari kita lihat saja, apakah dinasti politik di era demokrasi Indonesia ini bisa tetap menjaga roh demokrasi berjalan, tidak otoriter dan mutlak menguasai dan melanggar prosedur. Sepanjang mengikuti prosedur demokrasi dan aturan main Pilkada, kita anggap saja dinasti politik ini hanyalah pelengkap sumber kaderisasi bangsa dari anak para pejabat yang berkuasa, namun memberi sumbangsih yang baik  kepada bangsa dan negara.

Terima kasih dan salam.

Aldentua Siringoringo

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun