Mohon tunggu...
Aldentua S Ringo
Aldentua S Ringo Mohon Tunggu... Pengacara - Pembelajar Kehidupan

Penggiat baca tulis dan sosial. Penulis buku Pencerahan Tanpa Kegerahan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Pengaruh Dekrit Presiden 5 Juli 1959 terhadap Status UUD 1945

5 Juli 2020   13:38 Diperbarui: 5 Juli 2020   13:50 1971
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dibawah ketentuan UUDS 1950, diselenggarakanlah Pemilu 1955. Pemilu pertama sejak kemerdekaan, yang sampai saat ini masih dianggap sebagai Pemilu paling demokratis di Indonesia. Tentu saja ini bisa diperdebatkan.

Berdasarkan hasil Pemilu 1955 dibentuklah Badan Konstituante yang bertugas untuk mempersiapkan UUD  baru yang akan diberlakuakn untuk menjadi Konstitusi di Indonesia. Sidang pertama 10 Nopember 1956 dan dilanjutkan sampai tahun 1958, Badan Konstituante belum berhasil merumuskan apa yang menjadi UUD yang berlaku di Indonesia.

Pada tanggal 22 April 1959 Presiden Soekarno menyampaikan amanat di depan sidang Konstituante yang isinya menganjurkan kembali ke UUD 1945. Pada tanggal 30 Mei 1959 Konstituante mengadakan pemungutan suara. Hasilnya 269 setuju, 199 tidak setuju, namun yang hadir tidak memenuhi kuorum. Pada tanggal 1 dan 2 Juni 1959 kembali diadakan pemungutan suara dan tidak memenuhi kuorum. Pada tanggal 3 Juni 1959 Konstituante memasuki masa reses. Dan ternyata reses itu berkepanjangan dan tak berhenti sampai dibubarkan pada tanggal 5 Juli 1959.

Kondisi pemberontakan di daerah telah mengganggu persatuan dan kesatuan bangsa. Pemberontakan PRRI/Permesta dan berbagai pemberontakan di daerah lain terus berlangsung.  Ketidakjelasan Konstitusi telah menimbulkan masalah prinsip dalam kehidupan ketatanegaraan bangsa. Presiden dituntut harus mengambil keputusan demi menyelamatkan negara dari status yang tidak menentu itu. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dikeluarkan untuk menjawab tantangan masalah bangsa tersebut.

Dekrit Presiden.

Dekrit Presiden berisikan tiga hal. Pertama membubarkan Konstituante. Kedua kembali memberlakukan UUD 1945. Ketiga, mebentuk MPRS yang terdiri dari Anggota DPR dan utusan daerah serta golongan. Dan akan segera membentuk Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) dalam tempo sesingkat-singkatnya.

Sebelum dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, KSAD Letjen A.H.Nasution atas nama Pemerintah/Penguasa Perang Pusat (Peperpu) mengeluarkan peraturan no.Prt/Peperpu/040/1959 yang berisi larangan melakukan kegiatan-kegiatan politik.

Pada tanggal 16 Juni 1959 Ketua Umum PNI Suwirjo mengirimkan surat ke presiden agar mendekritkan berlakunya kembali UUD 1945 dan membubarkan Konstituante. Pengaruh tentara dan PNI terhadap Presiden Soekarno pada waktu cukup kuat sehingga lahirlah Dekrit tersebut.

Setelah keluar Dekrit Presiden, diikuti dengan dukungan dari DPR berdasarkan Sidang tanggal 22 Juli 1959. Lalu ada dukunagn berupa pendapat hukum dari Ketua Mahkamah Agung RI (MARI) Profesor Wirjono Prodjodikoro dan diikuti dengan Keputusan Presiden no 150 tahun 1959 tentang kembali ke UUD 1945.

Status Dekrit Presiden dan UUD1945.

Kita kembali ke catatan awal dalam tulisan ini, ada dua pendapat ahli tentang status dan legalitas Dekrit presiden. Seandainya kita sependapat dengan pendapat pertama yang menyatakan bahwa dekrit presiden ini tidak konstitusional, maka kehidupan ketatanegaraan kita sejak 5 Juli 1959 sampai sekarang yang memberlakukan UUD 1945 dianggap tidak konstitusional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun