Secangkir kopi pagi tadi menemani sarapan bareng. Setelah itu nyonya (istri) lanjut masak-masak untuk bekal dibawa ke tempat kerja.
Sembari menikmati kopi sebelum membersihkan kendaraan untuk berangkat kerja. Aku sempatkan baca satu artikel resonansi digores oleh Asma Nadia.
Artikelnya berjudul, "Yang Tertinggal Setelah Jas Putih Pergi". Tulisan ini menggugah empati kita semua betapa pelecehan dari sebuah profesi terhormat ini amat mencoreng jas putih mereka.
Jas Putih Itu ...
Membaca artikel di atas, membuat empati kita semua terusik. Selayaknya kopi pahit pekat yang aku minum pagi itu memperkuat rasa empati semakin teraduk.
Sontak sembari membaca artikel resonansi dari kak Asma Nadia. Aku berujar ke istri, masalah ini perlu kita suarakan bersama. "Yaudah hari ini mas mau coret dan buat goresan tentang ini".
Kasus di mana seorang pemakai jas putih ini. Memeriksa sang wanita yang sedang memperjuangkan lahirnya satu nyawa di kandung badan harus mengalami sebuah tingkah sampah dari seorang yang pernah sumpah profesi. Tentu tidak semua yang berjas putih demikian adanya.
Pelecahan telah terjadi di berbagai daerah
Masalahnya kasus ini tidak hanya di Garut, di berbagai tempat banyak terjadi. Hanya saja banyak yang memilih bungkam takut tidak dipercaya atau mengada-ada untuk memfitnah dan pencemaran nama baik.
Mereka bungkam karena memang dunia selalu bisu untuk mereka yang dilecehkan. Dan menyedihkan wanita selalu saja jadi mangsa.
Aku murka bukan untuk semua pemilik jas putih ini. Kecewa ini merasuk kuat. Ya, mereka itu wanita selayaknya dimuliakan sebagaimana ibu.
Bukankah kita semua lahir dari rahim wanita? Lalu kenapa ini terjadi dari sebuah profesi yang kita "hormati".