Mohon tunggu...
Albar Rahman
Albar Rahman Mohon Tunggu... Penulis - Editor, Writer and Founder of Books For Santri (Khujjatul Islam Boarding School)

Sehari-hari menghabiskan waktu dengan buku-buku ditemani kopi seduhan sendiri. Menikmati akhir pekan dengan liga inggris, mengamati cineas dengan filem yang dikaryakan. Hal lainnya mencintai dunia sastra, filsafat dan beragam topik menarik dari politik hingga ekonomi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mahasiswa, Demonstrasi dan Denyut Nadi Demokrasi

31 Oktober 2022   23:08 Diperbarui: 1 November 2022   00:41 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tiga generasi yang hobi berdiskusi tentang apa saja, sejarah bahkan demokrasi./dokpri

David Held dalam buknya Models of Democracy membeberkan bahwa demokrasi itu memiliki ruang kebebasan absah secara total sangat membebaskan publik terlibat dalamnya. 

Publik berhak masuk dan ikut mengawalnya dari berbagai sudut. Ini artinya proses demokrasi adalah milik siapa saja, terlebih bagi mereka yang memiliki tanggung jawab moril secara intelektual. 

Moril intelektual tersebut ada di pundak yang kita sebut dan kenal Mahasiswa. Ini terdengar atau terbaca sangat berlebihan. Mari kita uraikan pandangan dan landasan penulis. 'Maha' secara harfiah dia memiliki sebuah kuasa bahkan bisa dikatakan tinggi kekuasaan yang melekat padanya. Setelah sematan 'Maha' melekat juga gelar terepelajar, inilah Mahasiswa. 

Jika mengurai sejarah demokrasi. Yang menjadi catatan sejarah apakah negara dengan seruang demokrasi apapun bentuknya, sudah ideal kah. Mencari ideal tentu hampir mustahil untuk dicapai. Dalam proses demokrasi, mahasiswa selalu dikambing hitamkan sebagai makar jika melakukan perlawan pada rezim. 

Demonstrasi berhasil jadi "cap" buruk atau tidak baik bagi mahasiswa yang melakukan aksi di dalamnya. Berbagai tudingang datang. Kelak mahasiswa yang riang demo dan menjadi pejabat negara juga, untuk apa idealis. Ini sebuah framing dan sah saja memiliki pandangan demikian adanya. Sebab realitasnya ada. 

Aksi demo harusnya dimaknai dengan definisi yang lebih luas. Tidak sempit hanya pada aksi di jalanan saja. Menurut hemat penulis bahwa mahasiswa harus memiliki investasi jangka panjang untuk terus berdemo dengan intelektualnya. Merawat nalar intelektualnya dengan terus menyuarakan gagasan bahkan kritiknya jika harus tampil dipermukaan untuk sebuah rezim sekalipun. 

Itulah definisi demo atau sebuah demonstrasi secara luas. Ia lahir dari intelektual sebuah gagasan kritik dari manusia terpelajar. Merupakan denyut nadi demokrasi yang niscaya. 

Goerge Sorensen dalam tulisannya  Democracy and Democratization, mendefinisikan demokrasi sebagai sebuah bentuk rezim pemerintahan dimana yang berkuasa adalah rakyat dan semua prahara masyarakat secara umum di dalamnya. Intelektual rakyatnya akhirnya jadi denyut nadi demokrasi terpenting harus dijaga dan dirawat bahkan. 

Untuk itu jadilah mahasiswa dengan definisi luasa lalu melihat kerja demokrasi lebih utuh. Ambil peran terbaik dan rawat denyut nadi demokrasi dengan dedikasi intelektual setinggi mungkin. 

Jadilah mahasiswa 'abadi' pada denyut demokrasi. Jangan usaikan kerja intelektual bahkan setelah lulus sekalipun untuk menghidupkan denyut demokrasi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun