Mohon tunggu...
Muhammad Ulil Albab
Muhammad Ulil Albab Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis

Hanya Seorang Pengembara Yang Sedang Mencari Makna Kehidupan | جامعة الأزهر الشريف | Universitas Indonesia | Let's Follow @albabmhd

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sejarah dan Perkembangan Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah di Minangkabau

20 Januari 2022   12:00 Diperbarui: 21 Januari 2022   19:59 10370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

PENDAHULUAN

Tarekat Naqsyabandiyah merupakan salah satu tarekat muktabar yang memiliki banyak pengikut di Indonesia. Tarekat Naqsyabandiyah juga merupakan tarekat yang paling mendominasi di Minangkabau.

Meskipun demikian, para peneliti dan ahli sejarah berbeda pendapat mengenai awal kemunculan tarekat Naqsyabandiyah di Minangkabau. Menurut Bruinessen, tarekat Naqsyabandiyah telah berkembang di Minangkabau sejak tahun 1850 M (Bruinessen, 1992). Hal senada juga dijelaskan oleh Schrieke, bahwa Syekh Ismail al-Minangkabawi merupakan mursyid pertama yang mengembangkan ajaran tarekat Naqsyabandiyah di Minangkabau pada tahun 1850 M (Schrieke, 1973). Akan tetapi pendapat Bruinessen dan Schrieke ini terbantahkan berdasarkan naskah ijazah tarekat Naqsyabandiyah bertahun 1334 H yang diberikan oleh Syekh Abd al-Rahman, yang merupakan khalifah dari Syekh Ibrahim Kumpulan, kepada Syekh Muhammad Syarif melalui jalur Syekh Ibrahim Kumpulan, dari Syekh Abdullah Afandy, yang merupakan salah seorang khalifah dari Syekh Khalid al-Kurdi.

Pendapat Bruinessen dan Schrieke sebelumnya hampir mirip dengan hasil penelitian terbaru dari Hadi. Menurutnya, tarekat Naqsyabandiyah berkembang pada awal abad ke-19 M melalui kawasan Pantai Timur Sumatera Barat atas jasa Syekh Ismail al-Minangkabawi. Pendapat Hadi bersandarkan pada naskah kitab al-Manhal al-'Adhb li Dzikr al-Qalb yang menurutnya ditulis oleh Syekh Ismail al-Minangkabawi di Riau pada tahun 1829 M. Berdasarkan temuan ini, Hadi menyimpulkan bahwa Syekh Ismail al-Minangkabawi telah berada di Riau dan mengembangkan ajaran tarekat Naqsyabandiyah sejak tahun 1829 M (Hadi, 2011).

 Akan tetapi pendapat Hadi ini tidak lepas dari kritik. Pertama, karena tidak adanya kepastian mengenai kapan kitab tersebut ditulis oleh Syekh Ismail al-Minangkabawi. Dalam hal ini, Hadi mendasari pendapatnya berdasarkan bait nazham yang terdapat dalam naskah kitab tersebut, yang menurutnya tersembunyi tahun penulisan kitab oleh Syekh Ismail al-Minangkabawi. Namun beberapa peneliti dan ahli sejarah lain juga ada yang berpendapat bahwa kitab tersebut ditulis pada tahun 1858 M, setahun setelah wafatnya Syekh Ismail al-Minangkabawi (Dipodjojo, 1996). Kedua, Syekh Ismail al-Minangkabawi pertama kali diundang ke Riau oleh Raja Ali bin Yamatuan Muda Raja Ja'far, yang saat itu menjadi Yamatuan Muda Riau VIII menggantikan Raja Abdul al-Rahman Yamatuan Muda Riau VII yang wafat pada tahun 1844 M. Berdasarkan hal ini, tidak mungkin jika Syekh Ismail al-Minangkabawi telah berada di Riau pada tahun 1829 (Chairullah, 2016).

Sedangkan menurut Azra dan Dobbin, tarekat Naqsyabandiyah telah berkembang di Minangkabau sejak pertengahan abad ke-17 M melalui Syekh Jamal al-Din. Syekh Jamal al-Din mulanya belajar di Pasai dan kemudian berlanjut ke Bait al-Faqih, Aden, Haramain, Mesir, dan India. Sebelum pulang ke Minangkabau, Syekh Jamal al-Din sempat singgah di Aceh. Di Aceh, Syekh Jamal al-Din mengembangkan tarekat Naqsyabandiyah. Syekh Jamal al-Din juga menulis kitab Lubab al-Hidayah, yang disandarkan kepada ajaran Syekh Ahmad bin 'Alan al-Shiddiqi al-Naqsyabandi (Azra, 2007).

Pendapat Azra dan Dobbin tentu sangat jauh berbeda dengan pendapat-pendapat peneliti dan ahli sejarah sebelumnya. Akan tetapi jika dikaji kembali, perbedaan pendapat ini terletak pada objek yang berbeda, meskipun masih sama-sama tarekat Naqsyabandiyah. Pada awalnya, tarekat Naqsyabandiyah bernama Shiddiqiyah, yang disandarkan pada Abu Bakr al-Shiddiq, kemudian berubah nama menjadi Thaifuriyah, setelah itu Khaujakaniyah, setelah itu Naqsyabandiyah, setelah itu Naqsyabandiyah Ahrariyah, setelah itu Naqsyabandiyah Mujaddidiyah, setelah itu Naqsyabandiyah Muzhariyah, baru kemudian pada masa Syekh Khalid al-Kurdi dinamai Naqsyabandiyah Khalidiyah (al-Dausari, tt). Adapun Naqsyabandiyah yang dimaksudkan oleh Bruinessen, Schrieke, dan Hadi adalah Naqsyabandiyah Khalidiyah. Sementara Azra dan Dobbin memaksudkan Naqsyabandiyah Mujaddidiyah (Chairullah, 2016).

GENEALOGI TAREKAT NAQSYABANDIYAH: DARI SYEKH BAHA' AL-DIN AL-NAQSYABANDI HINGGA SYEKH ISMAIL AL-MINANGKABAWI

Tarekat Naqsyabandiyah mulai berkembang sejak abad ke-14 M. Pendirinya adalah Syekh Muhammad Baha' al-Din al-Uwaisi al-Bukhari al-Naqsyabandi (w. 791 H/1389 M). Syekh Baha' al-Din al-Naqsyabandi telah belajar tasawuf sejak usia belia. Pada usia 18 tahun, Syekh Baha' al-Din al-Naqsyabandi berguru kepada Syekh Bab al-Sammasi. Kemudian dilanjutkan kepada khalifahnya, yaitu Syekh Amir Sayyid Kulal (al-Nabhani, 1978). Dari Syekh Amir Sayyid Kulal ini kemudian Syekh Baha' al-Din al-Naqsyabandi mempelajari dasar-dasar tarekat yang kelak didirikannya, yaitu tarekat Naqsyabandiyah (Mulyati, 2004). Ringkasnya, Syekh Baha' al-Din al-Naqsyabandi menyederhanakan amalan zikir dari pendahulunya, di mana sejak masa Syekh Mahmud al-Anjiri Faghnawi hingga masa Syekh Amir Sayyid Kulal mereka mengamalkan zikir jahar saat bersama dan zikir khafi saat sendiri yang kemudian disederhanakan menjadi zikir khafi saja oleh Syekh Baha' al-Din al-Naqsyabandi (al-Kurdi, 1996).

Saat menjadi mursyid, Syekh Baha' al-Din al-Naqsyabandi mengangkat tiga orang khalifah, yaitu Syekh Ya'qub al-Jarkhi, Syekh 'Ala al-Din 'Atthar, dan Syekh Muhammad Parsa. Syekh Ya'qub al-Jarkhi kemudian mengangkat Syekh 'Ubaidillah al-Ahrar sebagai khalifah. Syekh 'Ubaidillah al-Ahrar memiliki hubungan yang akrab dengan Abu Sa'id, penguasa Dinasti Timurid di Herat, Afghanistan. Berkat hubungan ini, tarekat Naqsyabandiyah berkembang ke berbagai daerah, antara lain Qazwain, Isfahan, Tabriz, dan Istanbul (Chairullah, 2016).

Tarekat Naqsyabandiyah selanjutnya menyebar ke India melalui Syekh Baqi Billah, yang menetap di sana selama empat tahun. Syekh Baqi Billah merupakan mursyid tarekat Naqsyabandiyah ke-23. Selama menetap di India, Syekh Muhammad Baqi Billah mengangkat empat orang khalifah, di antaranya adalah Syekh Ahmad al-Faruqi Sirhindi, yang kemudian dianggap sebagai penerus dari Syekh Muhammad Baqi Billah, dan Syekh Taj al-Din Zakaria (Bruinessen, 1992). Syekh Ahmad Sirhindi kemudian digelari dengan mujaddid karena dikenal sebagai sosok ulama pembaharu pada masanya. Syekh Ahmad Sirhindi merupakan seorang sufi yang gigih memperjuangkan Islam dan memurnikan ajaran dan paham yang melenceng saat itu (Ansari, 1986).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun