Mohon tunggu...
Nur Alawiyah
Nur Alawiyah Mohon Tunggu... Administrasi - There is no elevator to success. You have to take the stairs.

a Girl who likes to read and write about her mind, especially reviewing movies or books.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Ayah, Ibu, Aku Ingin Menjadi Youtuber!

2 Oktober 2020   07:43 Diperbarui: 2 Oktober 2020   07:59 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dahulu kegiatan menonton hanya dapat disaksikan melalui media televisi. Televisi pertama yang mengudara di Indonesia adalah TVRI, itu pun dikelola pemerintah. Tepatnya tahun 1962-1989 TVRI lah yang menguasai pertelevisian Indonesia. Hingga menyusul setahun setelahnya, stasiun televisi swasta pertama yaitu RCTI mengudara. Pilihan tontonan mulai beragam.

Berangkat dari format opera sabun yang dalam bahasa Inggris disebut sebagai soap opera dimana dalam bahasa Indonesia kita lebih mengenal yang disebut dengan sinetron. Sinetron merupakan akronim dari sinema elektronik. Sinetron yaitu menampilkan serial fiksi yang diisi dengan berbagai genre. Umumnya di Indonesia sinetron yang bertaburan tidak jauh dengan genre drama romansa dan komedi. 

Sejak 2003 lalu, masa kecil saya pun dipenuhi dengan berbagai macam tontonan yang berasal dari layar kaca televisi. Kala itu stasiun televisi swasta sudah lebih beragam. Berbagai serial kartun mulai dari Sailor Moon, Doraemon, Detective Conan, Rudy Kapur Ajaib, Jimmy Neutron, Spongebob, Inuyasha, dll. menjadi tontonan yang selalu saya saksikan. Namun, semakin berkembangnya teknologi dan zaman televisi sudah bukan menjadi satu-satunya media untuk menonton. 

Inti dari menonton itu sendiri mempunyai tujuan untuk menghibur tentunya, apalagi bagi anak-anak. Media tontonan kini sudah beralih ke berbagai platform digital melalui sebuah gawai yang lebih mudah diakses oleh berbagai usia dan kalangan. Asal mempunyai gawai dan kouta internet yang terjangkau, semua orang dapat mengunduh aplikasi berupa Youtube, Vidio.com, Goplay, Viu, Iflix, hingga Netflix untuk memuaskan diri mencari tontonan yang lebih beragam lagi.

Mengikuti perkembangan zaman dari tontonan anak-anak masa kini yang sudah mengenal media Youtube, mereka mengenal pula dengan profesi yang digeluti berbagai kalangan tersebut, yaitu menjadi Youtuber. Kalau saat dulu saya berusia di Taman Kanak-Kanak pertanyaan Guru dan Orang tua mengenai cita-cita akan saya jawab dengan lantang untuk menjadi Guru.

Teman-teman sebaya saya kala itu akan menjawab berbagai profesi hebat menurut kami kala itu, antara lain menjadi dokter, astronot, polisi, tentara, dll. Sungguh berbeda dengan jawaban anak-anak yang hidup di era digital kini. Menilik dan melihat kilas balik yang saya sebutkan sebelumnya membuat anak-anak dapat melihat peluang dan bercita-cita salah satunya menjadi Youtuber. 

Pertanyaannya adalah apakah Youtuber adalah profesi? Dan apakah orang tua harus mendukung anaknya yang bercita-cita menjadi Youtuber atau memarahinya dengan tidak memperbolehkannya? 

Orang tua yang sudah melek digital dan sadar akan besarnya pengaruh pekerja content creator yaitu youtuber mendapatkan pundi-pundi rupiah mungkin akan mendukung anaknya. Bermodalkan kamera digital atau bahkan hanya kamera gawai yang dapat merekam video dibumbui kemampuan editing video yang tidak harus profesional dapat menghasilkan sebuah video yang mudahnya diunggah ke platform digital Youtube. Hanya perlu memikirkan konten yang tepat yang menjadi fokus utama dalam channel Youtube dan kepercayaan diri tampil di depan kamera sudah cukup untuk jadi modal dasar menjadi Youtuber. Tapi, apakah dengan begitu saja sudah cukup?

Lalu, bagaimana dengan orang tua yang kontra dengan keputusan anaknya mengenai cita-cita menjadi Youtuber? Menurut saya, tidak setuju dengan kemauan anak memang lah boleh saja, bahkan itu wajar. Karena orang tua merasa sudah menjalani kehidupan lebih dulu dan mengetahui bahwa masa depan menjadi Youtuber bisa jadi tidaklah menentu. Tapi, alangkah baiknya daripada memarahi dengan keras kepala kepada anak dengan tidak memperbolehkan anaknya menjadi Youtuber.

Bukankah lebih baik memberitahukan kepada anak dengan memberikan pengertian lebih padanya bahwa Youtuber bukanlah profesi yang tepat di masa yang akan datang dan menuntun anak dengan bakat yang ia miliki saat ini? Misalnya, dengan memberikan les pada anak sesuai dengan kemampuan yang ia mahir di satu bidang tersebut alih-alih hanya memarahinya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun