Mohon tunggu...
Alan Naufal
Alan Naufal Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswa Fakultas Ekonomika dan Bisnis di Bulak sumur

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Jokowi dan Muslim Voters

25 Juli 2018   12:10 Diperbarui: 25 Juli 2018   12:49 413
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tak lebih dari 20 hari lagi timang timang wakil presiden oleh presiden jokowi akan segera diakhiri mengingat akan berakhirnya masa pendaftaran calon presiden. Dari berbagai headline media massa, framing yang dikenakan kepada sang presiden atas dirinya yang anti islam semakin menggaung mendekati pendaftaran pilpres dan terlanjur menjadi citra. 

Meskipun berbagai riset menyatakan klaim muslim voter yang ada merupakan sebagian kecil dari pemilih beragama islam ada pemilu mendatang, tetap saja sang presiden berusaha menepis. Jika dilihat dari hal framing anti islam yang begitu kuat, cawapres disinyalir bisa menjadi penyeimbang atas gempuran oposisi tersebut tetapi, apakah benar bahwa cawapres ini memiliki pengaruh besar terhadap keterpilihan sang presiden?

Menilik lebih dalam, bisa dibilang istilah muslim voters ini mulai bergaung ketika pemilihan gubernur DKI jakarta di tahun 2017 yang menjadi sorotan publik. Gerakan 212 yang dimotori oleh gerakan muslim menunjukan bahwa Jokowi bukan berada di pihak yang sama dengan apa yang disebut muslim voters. Ketakutan itu semakin menjadi ketika sang petahana Basuki Tjahaja Purnama tumbang, oleh kekuatan muslim voters yang di stigmakan sebagai muslim yang radikal dan intoleran. 

Lantas, apakah hal tersebut juga bisa terjadi pada pilpres 2019. Mungkin saja hal tersebut terjadi, namun ada beberapa analisis yang bisa memetakan mengapa hal tersebut terjadi ditahun 2017 dan mungkinkah terjadi di 2019.

Kekuatan massa muslim voters pada pemilihan pilkada DKI jakarta kemarin menciptakan hipotesis bahwa terjadi peningkatan intoleransi dan radikalisme pada masyarakat. Namun, riset yang dilakukan menyatakan sebaliknya, pada tahun 2017 digambarkan bahwa terjadi penurunan angka intoleransi  di Indonesia dengan sebaran merata (Muhtadi,2017). 

Sehingga yang sesungguhnya terjadi bukanlah meningkatnya intoleransi pada pemilih muslim melainkan meningkatnya kaum intoleran ini di tingkat elite. Hal ini yang menyebabkan seolah olah sehingga apabila kita melihat dari framing berita ibu kota, terjadi eskalasi pada intoleransi beragama pada masyarakat. Jadi, apa yang seungguhnya disebut anti-islam dan ditempelkan  pada sang presiden bahwa presiden bersebrangan dengan muslim voters, sebenarnya adalah bersebrangnya presiden dengan elite muslim bukan pada pemilih yang beragama islam.

Meningkatanya eskalasi intoleransi pada elite politik tentu tak lepas dari masalah identitas politik yang kini diciptakan oleh model model koalisi keumatan. Terlebih lagi, setelah terjadinya reformasi terjadi krisis identitas yang umumnya diretorika dalam penciptaan musuh bersama. Dimasa penjajahan kita terbiasa dengan indentitas pribumi dan anti kolonialisme, di masa orde lama kita terbiasa dengan neokolim dan dimasa orde baru kita terbiasa dengan anti-pancasila. 

Lalu siapakah musuh kita di era reformasi? Tentu hal tersebut menjadi panggung bagi koalisi keumatan untuk menggaungkan anti-islam yang diciptakan sebagai musuh bersama untuk membentuk identitas indonesia setelah reformasi. Kedua hal tersebut yakni, meningkatnya intoleransi dan radikalisasi di tingkat elite serta hilangnya identitas pilitik setelah 20 tahun reformasi menjadi panggung yang besar bagi muslim voters untuk melenggang ke istana pada 2019. 

Meskipun jokowi berusaha membentuk indentitas dengan pancasila dan menciptakan musuh bersama yang disebut anti-pancasila namun jika kita melihat dari framing media, identitas ala jokowi belum bisa melampaui identitas ala keumatan yang dibuat, terlebih trauma anti-pancasila pada masa orde baru masih membekas pada masyarakat.

Dari berbagai pemetaan yang telah digambarkan, bisa disimpulkan bahwa siapapun wapres yang nantinya digaet oleh jokowi, terutama dari nama nama yang beredar, bukanlah bagian dari muslim voters. Sehingga apabila Jokowi menggaet Mahfud MD pun dalam pilpres 2019 hal tersebut tidak lantas membuat sang muslim voters berpindah ke haluannya. 

Tentu hal ini menjadi pertimbangan meskipun tidak mendominasi arah kemenangan. Karena berdasar survey litbang kompas terakhir, hanya 35 % yang menjadi pemilih jokowi garis keras. Sedangkan sisanya merupakan swing voters dan pemilih garis keras oposisi, meskipun sampai saat ini belum jelas pula siapa oposisi mendatang. Bisa dibilang bahwa untung rugi Jokowi bukan ditentukan oleh wapres yang mendapinginya melainkan pada siapa yang akan menjadi oposisi mendatang. Lebih lagi, besar kemungkinan pencapresan Prabowo hanyalah gimmick semata.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun