Mohon tunggu...
Alaek Mukhyiddin
Alaek Mukhyiddin Mohon Tunggu... Jurnalis - Aktivis Ahlusunnah Wal Jamaah

adalah penggagas Jam'iyah sastra di pondok pesantren Sidogiri, sekaligus menjadi ketua perdananya. saat ini menjabat sebagai pemimpin Redaksi Majalah Nasyith. ia juga aktif sebagai aktivis ahlusunah wal jamaah dan menjabat sebagai anggota tim fatwa Annajah Center Sidogiri

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bismillah, Akulah Bidadarimu

21 September 2022   13:27 Diperbarui: 21 September 2022   13:40 450
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buku Serial Religi, penulis Alaek mukhyiddin & Baqir Madani/dokpri

Aku tertegun ketika melihat seorang laki-laki memakai jas silver dan peci hitam. Kedua bola mataku seperti mau menggelinding melihatnya. "Itu pasti yang namanya Zultan." firasatku berkata. Memang benar kata Amir dan kata kakak, bahwa  penampilan Zultan tidaklah terlalu menarik, bahkan sangat tidak menarik. Tubuhnya agak gemuk, lebih pendek dari pada tubuhku. Warna kulitnya lumayan hitam dan... Ah. Naluri wanita yang cenderung menyukai lelaki tampan kini mulai menguasai lajur hatiku. Prinsipku dari awal yang tidak mau mempermasalahkan masalah penampilan terasa mulai gentar. Aku perempuan, sama seperti mereka. Setahuku,Kufu (setara) antara dua pasangan sangatlah diprioritaskan dalam agama. Dan aku mulai merasa bahwa antara aku dan Zultan sepertinya ada ketidakkufuan. Dia adalah lelaki baik-baik dan pintar, berbanding seratus delapan puluh derajat denganku. Dalam urusan penampilan dia jauh di bawah yang aku bayangkan. Kufukah itu?

Pergolakan itu semakin memanaskan hatiku, sebelum ibu datang menjemputku yang tertahan di belakang pintu.

                                                                       ***

"Uswa, aku ucapkan selamat atas pertunanganmu. Bagaimana? Kau pasti tahu sendir bagaiaman lelaki yang bernama Zultan itu, dialah yang telah kau tukar denganku. Semoga kau bisa menerimanya dengan lapang sebagaimana kau telah melepaskanku dengan lapang pula. Kendati sejatinya, aku masih meragu, apakah kau bisa mencintainya dan bisa bahagia hidup bersamanya sepanjang hidupmu. Aku harap, kau mau memikirkan ini masak-masak. Jika kau berubah pikiran aku siap menerimamu kembali."

'Yang kau campakkan, Amir'

Setelah membaca surat tang di hantarkan seseorang tadi pagi, seakan memantik sebercat penyesalan di dalam hatiku. Tanganku terasa berat memegang kertas itu. Rasanya linangan airmata lagi-lagi memaksa keluar, tapi kutahan dengan sekuat perasaanku.

Amir? Kalau boleh berkata jujur, sebenarnya aku masih menyimpan rasa terhadapnya. Dia telah berhasil membuat hatiku bimbang. Aku berfikir keras dalam kebimbangan ini. Kurasa dia memang benar, bahwa kebahagian dalam berumahtangga itu bisa hadir jika ada cinta. Sedangkan aku, meski berusaha sekuat-kuatnya, sampai detiki inipun masih belum bisa menghadirkan Zultan di hatiku? Sungguh, inilah puncak dari siksaan batin yang selama ini mengusikku.

"Loh, ada apa lagi denganmu toh, Us.?" ibu tiba-tiba menghampiriku cemas. Aku menyambutnya dengan senyuman yang kupaksakan.

"Kau tidak perlu menyembunyikan gundahmu di balik senyummu itu. Ibu dari kecil merawatmu, Ndok. Pastilah ibu tahu bahwa kau sedang menyimpan beban yang berat. Ayo, ceritakn ke ibu." ibu mengelus ujung kerudungku dengan kasih sayang sejati, sebuah tindakan yang membuat dadaku sejuk. Tanpa ragu lagi kini, aku jatuhkan tubuhku ke dalam pelukan ibu. Kutumpahkan semua airmataku di sisinya. Hanya ibu yang bisa membuatku damai saat problem menghimpit hidupku.

"Bicaralah, Nak. Ibu siap menjadi pendengar yang baik." tanggap ibu ketika melihatku tidak bisa mengeluarkan sepatah katapun. Kuberikan saja surat dari Amir pada ibu. Ibu terlihat membacanya dengan serius.

"Kamu masih mencintainya?" ucap ibu sehabis membaca kertas itu. "itulah salah satu risiko pacaran, faidahnya tidak ada, justru hanya menyiksa hatimu saja." ibu mulai memberikan petuahnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun