Mohon tunggu...
Alaek Mukhyiddin
Alaek Mukhyiddin Mohon Tunggu... Jurnalis - Aktivis Ahlusunnah Wal Jamaah

adalah penggagas Jam'iyah sastra di pondok pesantren Sidogiri, sekaligus menjadi ketua perdananya. saat ini menjabat sebagai pemimpin Redaksi Majalah Nasyith. ia juga aktif sebagai aktivis ahlusunah wal jamaah dan menjabat sebagai anggota tim fatwa Annajah Center Sidogiri

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kelana Tangis Sang Kekasih

21 September 2019   07:45 Diperbarui: 21 September 2019   08:38 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pagi itu cuaca seperti biasanya. Cerah, tapi tak secerah hari Ara yang sebentar lagi akan ditinggal kekasihnya, Golan. Di salah satu bandara, mereka berhadap-hadapan dengan muka sendu berderai air mata. Mata Golan berkaca-kaca. Tak rela tuk meninggalkannya. Golan tak ingin Ara tahu akan penyakit yang diidapnya, sehingga ia beralasan akan meninggalkannya karena bekerja ke luar kota. 

Andai Ara tahu akan kenyataan yang sebenarnya, mungkin hatinya semakin memberontak tak terima. Andai Ara tahu bahwa umur Golan tak lagi lama, mungkin dia akan meraung-raung pada takdir digariskan untuknya. Ah, andai saja!

Bagi Golan sendiri Ara sangatlah istimewa, karena hanya dialah yang dapat mengajari Golan akan adanya kasih sayang. Dulu, sebelum mengenalnya, Golan hidup acuh terhadap adanya wanita. Tak diindahkan berseliweran perempuan cantik dihadapannya. Golan berkeyakinan bahwa wanita hanyalah penghancur kehidupan. 

Tapi sejak mengenalnya, Golan merasa bahwa cinta benar-benar ada, lewat perempuan sederhana, perhatian dan tak banyak bicara. Sebentar lagi tak akan ada lagi tempat bersandar bagi Ara. Tak akan ada lagi yang menjadi penyemangat saat terbangun dari tidur paginya. Tak akan ada lagi tiang penyangga saat dirinya terjatuh. Ah, Golan.

"Cintaku seperti tali gelang ini yang akan terus melekat tak terputus di tanganmu. Cintaku seperti buah gelang yang saling melingkar berdekatan. Tak akan pernah saling melupakan meski talinya suatu waktu ditakdirkan terputus. Ragaku memang akan pergi jauh, tapi yakinlah bahwa hatiku tetap bersamamu dan suatu hari nanti pasti aku akan menjemputnya untuk menyatukannya kembali."  

Ujar Golan dengan suara yang dikuat-kuatkan dan hati yang ditabah-tabahkan. Yah, Golan memberinya sebuah gelang yang menjadi saksi bisu perpisahan mereka. Sebuah gelang yang sekaligus menjadi ekspresi cintanya. Di tempat ini mereka akan berpisah. Bertahun-tahun. Melewati bergantinya beberapa musim, kejadian serta perubahan iklim kehidupan.

Mata Ara sembab, masih saja menatap pesawat yang kian meninggi membawa Golan pergi. Awan telah merampas Golan dari hatinya. Angin telah menyeret Golan jauh darinya. Bumi telah mengusir Golan dari dekapannya. Seakan-akan Golan akan tertelan masa. Ara membiarkan air matanya merembes, menganak sungai di pipi beningnya. 

Tangannya ia biarkan diam tak menyeka. Keinginan ara hanya satu, Golan kembali dan menghapus air matanya. Pelan-pelan Ara menjatuhkan lututnya ke bumi. Mungkin karena sedih yang membara tak lagi mampu disanggahnya. Mungkin karena separuh dari jiwanya telah hilang pergi entah kemana. Mungkin saja!

***

Detik telah berlalu berganti tahun. Pelan-pelan rasa kehilangan telah enyah dari jiwa Ara, meski rasa rindu pada Golan masih tetap ada. Setiap malam Ara selalu melihat bulan dan minitip salam untuk Golan. Terlihat bodoh memang, tapi bagaimana lagi. Jiwanya telah dirundung rasa rindu yang terlalu. Di bawah bulan, Ara mengelus gelang pemberian Golan, sambil menangis sesenggukan.

Sementara nun jauh di sana, Golan terkulai lemah di pembaringan rumah sakit. Tiada berdaya oleh penyakit yang semakin brutal menyerangnya, kangker stadium 4. Lamat-lamat terlukis wajah Ara dalam ingatannya. Ingatan seorang kekasih yang berada di ujung tombak kematian.

" Ya tuhan, berikan Ara pendamping yang lebih layak dari hamba." Bersamaan dengan doa yang Golan panjatkan, air matanya merembes, menetes perlahan. Bersamaan dengan itu roh Golan melayang terbang menuju genggaman tuhan. Di tempat itu Golan menghembuskan nafas terakhirnya tanpa diketahui wanita yang ia cinta. Dia sendirian tanpa ada orang yang menangisi di sampingnya. Golan berhasil mewujudkan impian terakhirnya, yakni Ara tak mendengar akan berita kematiannya.

***

Malam itu tangis Ara semakin pecah, karena besok dirinya akan menikah dengan lelaki pilihan ayahnya. Jiwanya tak menentu oleh dentuman rasa yang campur aduk menjadi satu. Ara merasa jengkel karena Golan yang tak kembali atau Golan yang tiada kabar. Dirinya merasa cinta Golan hanyalah bualan semata. Bualan yang sukses membuat jiwanya terbang. 

Ara menerima rencana pernikahan itu, melainkan karena kesal cintanya dipermainkan Golan, padahal cinta yang Golan persembahkan untuk Ara terbawa sampai ke liang kuburan. Andai Ara tahu itu, mungkin selamanya dia akan memilih melajang. Andai Ara tahu itu, mungkin air matanya akan kering kerontang karena sering dikeluarkan. Ah, andai saja!

Di alam yang berbeda, Golan akan kecewa melihat kekasihnya yang tak percaya akan cinta sejatinya. Golan akan sedih melihat kekasihnya sebentar lagi akan dinikah dan itu bukan olehnya, tapi Golan percaya bahwa Ara akan bahagia lantaran mendapatkan seseorang yang lebih baik darinya, karena Golan yakin bahwa doa yang dipanjatkan di ambang kematian diterima oleh tuhan. Semoga saja!

***

Prosesi pernikahan Ara berlangsung khidmat. Ara dengan suaminya duduk berdua di tempat khusus seperti singgasana bak ratu dan raja. Hal itu membuat mereka dapat beradu pandang, selayang pandang langsung dengan para tamu undangan, namun sesekali terlihat Ara tak kuasa meneteskan air mata. Calon suaminya bingung melihat tingkah Ara, yang tak henti-hentinya mengusap tetesan demi tetesan tangisan.

" Ah, mungkin bahagia terharu." terka suami Ara. Suaminya tak tahu bahwa bukan karena itu Ara menangis. Dirinya menangis karena kekasihnya yang tak kunjung kembali menepati janji untuk duduk bersama di altar pernikahan. Lihatlah! Bahkan yang duduk di sebelahnya seseorang yang tak Ara cinta. 

Pelbagai rasa pada golan bergumul di jiwa Ara, antara rindu, jengkel, sedih semua bercampur aduk. Hingga pelan-pelan Ara hendak melepaskan gelang pemberian Golan. Ara telah muak dengan semuanya. Bukankah Golan telah mengumpamakan cintanya seperti gelang yang Ara pakai. Mungkin setelah gelang itu terputus dari lengannya, cinta mereka berdua otomatis akan usai seketika.  

Perlahan jemari Ara mulai menarik gelang itu, tapi masih saja tak terputus. Tangan kirinya menarik paksa gelang itu, tapi masih saja melekat. Yang ada tangan kanan Ara menjadi luka. Mengapa pula gelang itu sulit tuk dilepaskan? Aneh!

" Cintaku seperti tali gelang ini yang akan terus melekat tak terputus di tanganmu. Cintaku seperti buah gelang yang saling melingkar berdekatan. Tak akan pernah saling melupakan meski talinya ditakdirkan putus suatu waktu. Ragaku memang akan pergi, tapi yakinlah bahwa hatiku tetap bersamamu." Terekam kembali ucapan Golan saat hendak meninggalkannya. Hal itu semakin memantik tangisan Ara. Ingin sekali dirinya mengubur cinta Golan dalam-dalam dengan memutus gelang pemberiannya. 

Tapi semakin berusaha ia hendak melepas, semakin kuat gelang itu melekat. Lagi-lagi aneh! Arapun memeriksa gelang itu dengan seksama. Mulutnya tercekat tanpa kata. Tangisan semakin membabi buta meleleh dari matanya. Ternyata gelang itu terbuat dari bahan kawat yang kuat.

" Berarti cintanya akan tetap ada hingga kapanpun. Itu dibuktikan dengan kawat yang mengikat kuat di tanganku. Tapi di mana Golan berada saat ini atau jangan-jangan! " belum sempurna Ara menerka, dirinya terjatuh pingsan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun