Mohon tunggu...
I Gusti Ngurah Arga Aldrian O.
I Gusti Ngurah Arga Aldrian O. Mohon Tunggu... Dokter - Dokter

Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Waspada Tuberkulosis Tulang Belakang

14 Agustus 2019   15:07 Diperbarui: 14 Agustus 2019   15:23 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Tuberkulosis (TB) masih menjadi masalah yang belum teratasi dengan baik di Indonesia. Menurut Riskesdas 2018, insidensi tuberkulosis paru di Indonesia adalah 321 kasus per 100.000 penduduk. Sementara itu, angka prevalensi TB paru tahun 2018 tidak berubah dari tahun 2013. Rendahnya pengetahuan soal infeksi tuberkulosis menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi masih tingginya angka TB paru di Indonesia. 

Tuberkulosis merupakan infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium TB. Infeksi ini paling sering menginfeksi paru-paru, namun dapat juga menginfeksi lokasi lain di dalam tubuh (TB ekstra-pulmoner). Salah satu lokasi yang dapat diinfeksi oleh bakteri tuberkulosis adalah tulang dan dari keseluruhan infeksi TB pada tulang, lebih dari setengahnya adalah infeksi TB pada tulang belakang yang disebut juga Spondilitis TB atau Penyakit Pott's. Lokasi tulang belakang yang paling sering terkena adalah torakal bawah dan lumbal atas. Namun tidak jarang juga dapat menyerang tulang belakang bagian servikal. Kurangnya pengetahuan mengenai penyakit ini membuat diagnosis dari TB tulang belakang seringkali terlewati, khususnya pada pasien lanjut usia dimana keluhan pada tulang belakang seringkali dianggap sebagai akibat dari proses penuaan yang normal. Akibatnya, bila terlambat ditemukan atau tidak ditatalaksana dengan baik, penyakit ini dapat membuat hancurnya tulang belakang yang berujung pada deformitas tulang belakang, gangguan saraf, dan bahkan disabilitas.

Tanda awal dari TB tulang belakang adalah nyeri tulang belakang dalam jangka waktu yang lama atau kronik. Karena nyeri tersebut biasanya pasien menjadi enggan untuk duduk, berdiri, atau membungkuk. Selain itu, pergerakan tulang belakang pun menjadi terbatas. Pada tahap lanjut dari perkembangannya, pasien akan terlihat semakin membungkuk (kifosis), terlihat tonjolan pada tulang belakang yang keras (yang disebut juga dengan gibbus), dan terdapat gangguan pada saraf. Adanya tanda dan gejala tahap lanjut tersebut akan mempersulit tatalaksana dari penyakit ini.  Oleh karena itu, diagnosis sedini mungkin dari TB tulang belakang menjadi sangat penting.

Faktor risiko dari penyakit ini tidak berbeda dengan faktor risiko pada TB paru, yaitu status sosioekonomi yang rendah, hidup di negara yang endemis TB, kerja atau tinggal di tempat yang banyak paparan bakteri TB seperti rumah sakit, pengobatan yang menurunkan sistem imun, penyakit yang menurunkan sistem imun (seperti Diabetes Mellitus, infeksi HIV, dan kanker), dan kurang gizi. 

Bila terdapat tanda, gejala, dan faktor risiko yang telah disebutkan, sebaiknya pasien mengkonsultasikan hal ini ke dokter. Bila dokter telah menyatakan bahwa terdapat infeksi TB pada tulang belakang, dokter akan menentukan sejauh apa infeksi tulang belakang telah berkembang dan tatalaksana apa yang sesuai dengan kondisi pasien sekarang. 

Bila infeksi tulang belakang masih berada pada tahap awal (tidak adanya abses, kerusakan tulang belakang yang berat dan gangguan saraf), biasanya dokter akan memberikan obat anti tuberkulosis (OAT) yang harus diminum rutin selama 9-12 bulan, memasangkan peralatan untuk mengistirahatkan tulang belakang, dan menyuruh pasien untuk bed rest dan makan yang bergizi. Sedangkan bila infeksi tulang belakang sudah sampai pada tahap lanjut, biasanya selain tatalaksana yang diberikan untuk infeksi tahap awal, dokter juga akan menyarankan untuk dilakukan operasi pada tulang belakang pasien. Setelah operasi, rehabilitasi diperlukan untuk mengembalikan fungsi tulang belakang sebaik mungkin.

Kesimpulannya, dengan kondisi negara Indonesia yang masih merupakan negara endemis infeksi tuberkulosis, kemungkinan terjadinya TB tulang belakang menjadi sangat tinggi. Selain itu, melihat efek buruk jangka panjang yang dapat disebabkan oleh TB tulang belakang, pengenalan dini dan tatalaksana dini menjadi sangat krusial dalam pencegahan komplikasi penyakit ini. Dengan meningkatnya kewaspadaan masyarakat pada TB tulang belakang diharapkan dapat mencegah terjadinya komplikasi di kemudian hari. 

Referensi:

1. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes RI. Riset Kesehatan Dasar 2018 (Internet). 2018 (cited 2019 Aug 14). Available from: depkes.go.id. Indonesian. 

2. Murray, M. R., Schroeder, G. D., & Hsu, W. K. (2015). Granulomatous Vertebral Osteomyelitis. Journal of the American Academy of Orthopaedic Surgeons, 23(9), 529--538. doi:10.5435/jaaos-d-13-00213  

3. Batirel, A., Erdem, H., Sengoz, G., Pehlivanoglu, F., Ramosaco, E., Glsn, S., ... Vahaboglu, H. (2015). The course of spinal tuberculosis (Pott disease): results of the multinational, multicentre Backbone-2 study. Clinical Microbiology and Infection, 21(11), 1008.e9--1008.e18. 

4.  Faried, A., Ramdan, A., Arifin, M. Z., & Nataprawira, H. M. (2018). Characteristics and surgical outcomes of tuberculous meningitis and of tuberculous spondylitis in pediatric patients at Dr. Hasan Sadikin Hospital, Bandung: A single center experience. Interdisciplinary Neurosurgery, 11, 37--40. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun