Mohon tunggu...
Anggara Adhari
Anggara Adhari Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar

https://www.facebook.com/anggara.adhari.31

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Fondasi Kebahagiaan

30 November 2017   08:36 Diperbarui: 1 Desember 2017   02:48 339
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: www.pasiensehat.com

Seorang ulama besar umat Islam terdahulu yang bernama Malik bin Dinar rahimahullah berkata, "Telah keluar para pemuja dunia dari dunia ini dalam keadaan belum merasakan sesuatu yang paling nikmat di dalamnya." Orang-orang bertanya kepadanya, "Apakah itu wahai Abu Yahya (nama panggilan beliau, pen-)?". Beliau menjawab, "Mengenal Allah 'azza wa jalla."

Kita sadari bahwasanya semua dari kita adalah para pemuja dunia dengan segala bentuknya. Ada yang dalam bentuk popularitas, ada juga yang dalam bentuk harta benda (materiil), juga ada yang dalam bentuk berbagai macam kuliner, tidak sedikit pula dalam bentuk kedudukan atau jabatan, dan berbagai macam bentuk lainnya. Ternyata di antara kita semua ada yang meninggal dunia belum sempat merasakan kenikmatan (baca: kebahagiaan) yang paripurna yakni mengenal Allah, satu-satunya Tuhan dan pencipta kita. Padahal kita tidak dapat merasakan manisnya iman jika kita tidak mampu untuk mencintai-Nya dan kita tidak mungkin mencintai-Nya tanpa terlebih dahulu mengenal-Nya.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Ada tiga perkara yang barangsiapa memilikinya dia akan merasakan manisnya iman. Apabila Allah dan Rasul-Nya lebih dicintainya daripada segala sesuatu selain keduanya. Apabila dia mencintai seseorang tidaklah dia mencintainya kecuali karena Allah. Dan dia benci kembali kepada kekafiran setelah Allah selamatkan dirinya darinya sebagaimana orang yang tidak suka dilempar ke dalam api." (HR. Bukhari dan Muslim)

Ternyata keimanan memiliki rasa manis di dalam jiwa yang mampu menjadikan seseorang tegar setegar batu karang dan kokoh sekokoh gunung. Sebagaimana kita ketahui bahwasanya manisnya iman ini yang menjadikan Nabi Muhammad dan para pengikutnya kuat menghadapi siksaan kaum kafir Quraisy di Makkah selama kurang lebih tiga belas tahun lamanya. 

Siksaan yang bertubi-tubi baik secara verbal, fisik, maupun psikis diterima kaum muslimin dan menjadi makanan keseharian mereka. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang disiksa sampai menjadi cacat dan tidak sedikit pula yang meninggal dunia. Namun semua itu tidak menggoyahkan keimanan mereka karena mereka telah merasakan betapa manisnya iman itu dan pahitnya hidup di dalam kebodohan dan kemusyrikan.

Manisnya iman yang ada di dalam itu yang menjadikan mereka berkobar-kobar menjadi para pejuang tangguh yang mampu menaklukkan sepertiga dunia pada saat itu dan menumbangkan imperialisme Romawi dan Persia yang telah kokoh tegak berdiri selama berabad-abad lamanya. Padahal kita ketahui, kaum muslimin saat itu hanyalah sekumpulan orang-orang Arab yang tinggal di padang pasir yang bahkan kekuatan mereka tidak dianggap berarti dan juga mereka tidak memiliki apa-apa sehingga baik Romawi maupun Persia enggan menjadikan wilayah orang-orang Arab ini sebagai tanah jajahan mereka.

Bagaimana sejatinya orang yang mengenal Allah itu sehingga mereka mampu mencapai derajat manisnya iman? Orang yang mengenal Allah itu berjalan menuju Allah diantara 'dua sayap' yaitu musyaahadatul minnah -menyaksikan curahan nikmat- dan muthola'atu 'aibin nafsi wal 'amal -menelaah aib diri dan amalan-, sebagaimana dinukil oleh Imam Ibnul Qayyim rahimahullah di dalam kitabnya al-Wabil ash-Shayyib. 

Jadi tidak dikatakan seseorang itu mengenal Allah sampai dia selalu disibukkan untuk mensyukuri segala apa yang telah ia miliki dan merenungi kekurangan diri sehingga senantiasa melakukan perbaikan diri setiap harinya. Mengapa harus setiap hari? Bahkan tidak cukup hanya sebatas setiap hari, tetati kita harus mengenal Allah setiap saat untuk merasakan manisnya iman. Tidaklah heran jika kita semua diperintahkan shalat lima waktu agar kita semakin mengenal-Nya dan semakin mencintai-Nya.

Imam Ibnul Qayyim juga menerangkan kondisi seseorang yang telah mencapai derajat mengenal Allah, beliau berkata, "Ibnu Mas'ud pernah mengatakan, 'Cukuplah rasa takut kepada Allah sebagai bukti keilmuan.' Kurangnya rasa takut kepada Allah itu muncul akibat kurangnya pengenalan (ma'rifah) yang dimiliki seorang hamba kepada-Nya. 

Oleh sebab itu, orang yang paling mengenal Allah ialah yang paling takut kepada Allah di antara mereka. Barangsiapa yang mengenal Allah, niscaya akan menebal rasa malu kepada-Nya, semakin dalam rasa takut kepada-Nya, dan semakin kuat cinta kepada-Nya. Semakin pengenalan itu bertambah, maka semakin bertambah pula rasa malu, takut dan cinta tersebut." (Thariq al-Hijratain, dinukil dari adh-Dhau' al-Munir 'ala at-Tafsir [5/97])

Pada suatu saat ditanyakan kepada Bisyr al-Hafi, seorang ulama besar umat Islam, bahwasanya ada suatu kaum yang mereka beribadah dan bersungguh-sungguh melakukan amalan ibadah di bulan Ramadhan. Akan tetapi, ketika Ramadhan berakhir mereka pun meninggalkan amalan ibadah tersebut. Lantas beliau berkata, "Sejelek-jelek kaum adalah mereka yang hanya mengenal Allah Ta'ala di bulan Ramadhan." (Miftahul Afkar li ta`ahhub li-daril qarar 2/23).

Mengapa bisa demikian? Mengapa ada orang yang rajin beribadah di waktu tertentu saja dan malas di waktu yang lainnya? Pertama, karena kultur budaya yang salah yang berkembang secara meluas yang telah mendarah daging di masyarakat. Kedua, karena kurangnya pengenalan mereka kepada Allah. Hal ini telah disinggung oleh Syaikh as-Sa'dy rahimahullah, beliau mengatakan, "Hal itu erat kaitannya dengan ma'rifatullah (pengenalan terhadan Allah, -pen). Karena sesungguhnya kesempurnaan ibadah dipengaruhi oleh ma'rifatullah. Bahkan, setiap kali bertambah pengenalan seorang hamba kepada Allah, maka akan semakin sempurna ibadahnya." (Taisiirul Kariimir Rahmaan hal. 755).

Lebih jauh daripada itu, Imam Ibnul Qayyim rahimahullah meletakkan bahwa mengenal Allah adalah sebuah fondasi dari bangunan keimanan, beliau berkata, "Barangsiapa yang menghendaki bangunan yang tinggi, maka diharuskan baginya untuk menguatkan fondasi dan benar-benar memperhatikannya. Karena ketinggian bangunan tergantung pada kokoh dan kuatnya fondasi.  Amal dan derajat adalah bangunan, sedangkan fondasinya adalah iman. 

Apabila fondasinya kuat, maka ia akan dapat memikul bangunan dan meninggikannya. Apabila roboh sebagian dari bangunan itu maka mudah untuk memperbaikinya dan jika fondasi tidak kuat maka tidak akan tinggi bangunannya dan tidak akan kokoh dan jika roboh sebagian dari fondasi, maka akan jatuh bangunannya atau hampir jatuh. Orang bijak akan memiliki target yaitu membenarkan fondasi dan menguatkannya, sedangkan orang jahil adalah orang yang meninggikan bangunan tanpa fondasi, maka tidak berselang lama bangunannya pun akan roboh. 

Allah ta'ala berfirman, "Maka apakah orang-orang yang mendirikan masjid atas dasar takwa kepada Allah dan keridhaan(Nya) itu yang baik, ataukah orang-orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh, lalu bangunannya itu jatuh bersama-sama dengan dia ke dalam neraka Jahannam." (Qs. at-Taubah : 109). Fondasi bagi bangunan amal seperti kekuatan bagi tubuh manusia. Jika kuat, maka dia dapat membawa badan dengan baik dan menolak segala penyakit. 

Jika lemah kekuatannya, maka lemah pula ia dalam membawa badannya serta cepat terserang penyakit. Jadikan bangunanmu di atas fondasi iman yang kuat dan jika ada bagian atas atau atapnya yang rusak maka mudah untuk memperbaikinya daripada kerusakan fondasinya. Fondasi ini adalah dua; pertama, mengenal Allah, perintah, nama serta sifat-Nya dengan baik. Kedua, tunduk dan patuh kepada Allah dan Rasul-Nya. Inilah sekuat-kuat fondasi yang dibangun oleh seorang hamba bagi bangunannya dan sesuai dengan kekuatan fondasi itulah ketinggian suatu bangunan yang dia inginkan (al-Fawaid, hal. 175).

Fondasi pertama adalah mengenal Allah, perintah, nama serta sifat-Nya dengan baik. Kedua, tunduk dan patuh kepada Allah dan Rasul-Nya. Al-Imam Asy-Syafi'i meletakkan kaidah dasar tentang kedua fondasi tersebut, beliau berkata, "Aku beriman kepada Allah dan apa-apa yang datang dari Allah dan sesuai dengan apa yang dimaukan oleh Allah. Aku beriman kepada Rasulullah dan apa-apa yang datang dari Rasulullah sesuai dengan apa yang dimaukan oleh Rasulullah." (Lihat Syarah Lum'atul I'tiqad, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin, hal. 36)

Adapun cara mengenal Allah itu bisa dilakukan melalu ayat-ayat kauniyah (tanda-tanda keagungan Allh pada alam semesta atau seluruh makhlukNya), dan ayat-ayat syar'iyah (tanda-tanda keagungan Allh pada kesempurnaan ajaran agama-Nya). Sedangkan mengenal Allh Azza wa Jalla mencakup 4 bagian secara garis besar, yaitu mengenal keberadaan (Existence) Allah, mengenal keesaan rububiyah (Lordship) Allah, mengenal keesaan uluhiyah (Oneness)  Allah (hak Allah untuk diibadahi), dan mengenal nama-nama dan sifat-sifat (Names and Atributes) Allah Azza wa Jalla.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun