Ini sebuah Tulisan Sahabat saya,Â
Oleh: Nuryana
Hal pertama dalam menetapkan benar atau tidak suatu keputusan/proposisi (qodliyah) adalah pendefinisian (ta'rif).
Definisi dilakukan untuk membawa pendengar/pembaca pada suatu pemahaman mengenai pengertian yang dikonsefkan, dalam hal ini adalah fiksi.
Fiksi secara umum diartikan sebagai cerita khayalan imaginatif yang kosong dari kenyataan. Maka, ketika diputuskan kitab suci itu fiksi, jelas proposisi itu bernilai salah.
Namun, Rocky Gerung (RG) sebelum memutuskan "kitab suci itu fiksi" ia memberikan definisi khusus mengenai fiksi sesuai kacamatanya sendiri, yaitu mengaktifkan imaginasi untuk tiba pada sesuatu yang diharapkan. Dan menurutnya fiksi itu sangat baik, bukan sesuatu yang buruk, berbeda dengan fiktif. Maka dari itu, beliau memutuskan secara kondisional bahwa "jika fiksi diartikan demikian, maka kitab suci itu fiksi".
1. Tinjauan Gramatikal
Berdasarkan kajian manthiq (logika), gramatikal tersebut berupa kondisional (qodliyah syarthiyah) artinya jika anticedent (muqoddam) benar, maka taly (konskuen) juga benar, begitu juga sebaliknya. Anticedent dari pernyataan tersebut adalah "jika fiksi diartikan demikian" dan konsekuennya adalah "maka kitab suci itu fiksi.
Jadi, pernyataan tersebut masih bisa dibantah dengan mengganti pengertian fiksi dengan konsep yang lebih kredibel. Sedangkan pengertian kata-kata dalam KBBI yang dianut kita merupakan arti leksikal, belum final pada tingkat konseptualisasi yang terpercaya di bidang lain.Â
Sehingga RG mencoba melakukan konsptualisasi yang final sesuai bidang kajian literatur yang intinya menunjuk pada nilai positif kata fiksi. Jadi tidak ada alasan bahwa beliau menistakan kitab suci, karena menurutnya fiksi itu baik, bukan lagi fiktif.
2. Tinjauan Konsekuen (Taly)
Jika pernyataan RG dipotong dan hanya diambil bagian taly  "kitab suci itu fiksi" maka kajiannya hanya mengacu pada kalimat itu sendiri. Kalimat itu merupakan proposisi kategoris indeterminativ (qodliyah muhmalah) yaitu pernyataan yang hukum di dalmnya menunjuk pada beberapa hal secara umum (tidak menyeluruh).Â
Dari kalimat itu menetapkan sifat fiksi pada kitab suci. Dan kitab suci itu umum, termasuk di dalamnya kitab Al Qur'an, namun hukum fiksi pada kitab suci tidak semerta-merta menyentuh Al Qur'an karena hukum di dalam kalimat itu bersifat majmu (tidak menyeluruh) sama halnya dengan pernyataan "Indonesia telah sukses" menghukumi sukses pada Indonesia secara umum padahal satu per satu orang Indonesia banyak yang tidak sukses.Â