Mohon tunggu...
Maman Suherman
Maman Suherman Mohon Tunggu... lainnya -

jurnalis yang penulis, penulis yang jurnalis & berkeliaran pakai @maman1965

Selanjutnya

Tutup

Humor Pilihan featured

Srimulat, Namamu Abadi!

16 Desember 2013   09:23 Diperbarui: 3 Januari 2019   11:47 4738
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

HAMPIR semua orang di negeri ini tahu tentang Srimulat. Lontarkan saja tanya tentang ‘’Srimulat’’, maka jawabnya adalah grup lawak. Lalu terbayanglah wajah-wajah Kadir, Tarsan, Tessy, Mamiek Prakoso, Gogon, Polo, Jujuk, Rohana, Nunung, dan sejumlah nama lain, yang alhamdulillah, panjang umur hingga kini, dan masih bisa membuat kita terbahak-bahak.

Generasi yang lebih tua, tentu masih mengenang sosok-sosok pembangkit tawa dari generasi yang lebih tua – dan banyak di antaranya yang telah berpulang --  yang lahir dan besar dari ‘’perut’’ Srimulat. Gepeng, Asmuni, Paul, Triman, Sofia, Johny Gudel, Herry Koko, Edi Geyol, Subur, Bambang Gentolet, Slamet ‘’Martini’’ Haryono, Basuki, Timbul, Cicik, Ani Asmara, Bendot, Yongky ‘’Dracula’’, Pete, Betet dan masih banyak nama lain.

Juga masih terngiang kalimat ''Untung ada saya,'' khas Gepeng. Atau, ''Hil yang mustahal'' dari si pemilik kumis Charlie Chaplin, Asmuni.

Saya beruntung pernah menjadi jurnalis yang ‘’ngepos’’ di Panggung Srimulat Taman Ria Senayan, era 80-an, berteman dengan para pengocok perut ini, ikut masuk hingga ke dapur belakang layar mereka, menyimak cara almarhum Teguh memberi pemaparan tentang tema yang akan dibawakan menjelang manggung, lalu duduk bersama, seusai pertunjukan berlangsung. Menyaksikan mereka berbagi rezeki, sekecil apa pun yang didapatkan. Jika ‘’bosan’’ menonton penampilan mereka, saya tetap duduk di belakang panggung mengobrol dengan Bu Triman (istri Triman), yang sehari-harinya bertugas mengurusi kostum dan properti Srimulat Jakarta.

Tetapi, apakah ada yang tahu apa dan siapa sebenarnya SRIMULAT itu? Rata-rata kembali menjawab, ‘’Grup lawak’’, atau ‘’Grup lawak tradisional’.’

Tidak salah, karena Srimulat sebagai sebuah kelompok lawak memang sedemikian melegendanya, bahkan sudah ada sejak 1951 dan dikenal dengan Gema Malam Srimulat-nya.

Tetapi sekali lagi, siapa Srimulat, tak banyak yang tahu. Generasi tua pun banyak yang hanya samar-samar mengingat tentang ‘’asal-usul’’ nama Srimulat. 

SRIMULAT, apa dan siapakah gerangan Tuan? 

(Akan kuceritakan, rada panjang, jadi mohon luangkan lumayan banyak waktu Anda untuk membacanya. Maklum, perjalanannya memang sangat panjang)

Jurnalis senior yang juga seniman ‘’mbeling’’ Arswendo Atmowiloto pernah mengusulkan agar 7 Mei dijadikan sebagai ‘’Hari Lawak Nasional’’, atau ‘’Hari Gerr Nasional’’. Apa pasal?

Karena, pada 7 Mei 1908, lahir bayi mungil yang kelak memberikan catatan istimewa dan sangat panjang dalam sejarah lawak di Indonesia. Ia terlahir dari pasangan wedana Raden Mas Aryo Tjitrosoma dan Raden Ayu Sedah di Desa Botokan, Kecamatan Ketandan, Klaten, dan masih punya garis keturunan dengan Sri Susuhunan Pakubuwono IV. 

Beranjak remaja, ia keluar dari tembok kawedanan, minggat mengikuti kata hati, mengembara, dan menentang arus. Di usia kepala dua, dia sudah menjadi  sri mahapanggung yang multitalenta: penari jempolan, penyanyi yang bisa menyanyikan lagu Jawa, Melayu atau Belanda, bintang iklan, pemain andalan lakon-lakon ketoprak dan wayang orang, melawak, seraya berkelanan ke mana-mana, memimpin sebuah kelompok seni.

Ia terbuka sama semua unsur seni. Ia tembus semua lapisan masyarakat, menjadi talk of the town, menjadi kembang lambe, buah bibir, karena perjalanan karier, juga kehidupan pribadi dan perkawinannya.

Ia menjadi pendiri, pengelola, pelindung, sekaligus pemain utama dari apa yang sekarang kita kenal sebagai grup pabrik tawa legendaris: Srimulat – grup yang dalam waktu panjang, melewati semua era dalam pemerintahan kita yang bisa mempengaruhi cara tawa, dan cara kita menjadi bahagia. 

Dialah CEO pertama sebuah organisasi yang paling susah dikendalikan: organisasi seniman. Dialah yang menentukan arah, menentukan kiblat seorang Teguh, yang kelak menjadi inspirator, menjadi bapak yang menggantikan perannya. Dia bernama Raden Ayu Srimulat.

Jalan hidupnya, rupanya mengikuti ‘’garis takdir’’ namanya. ‘Sri’ yang bermakna keindahan, kebesaran, kebahagiaan, kemuliaan; dan ‘Mulat’ yang berarti menatap, melihat, memandang, menyaksikan.

Di usia 15, Srimulat dinikahkan dengan Raden Hardjowinoto yang memberinya seorang anak. Di usia 2,5 tahun, sang anak wafat. Tiga bulan berselang dari kepergian buah hatinya, sang suaminya pun ikut berpulang. Ia kemudian hidup dalam kesedihan, juga ditekan ibu tiri yang tertekan karena suaminya mengambil selir lagi.

Srimulat hidup di tengah bangsawan yang galau dan cemas karena tertekan secara politik dan tidak bisa berbuat apa-apa dalam politik, lalu menyalurkannya ke seni klasik yang kemudian mereka pelihara dan nikmati. Dari wayang orang hingga ketoprak. Lewat seni ini mereka bisa mengkritik penguasa kolonial. Dan, rakyat jelata yang lapar menjadikan kesenian keliling atau di pendapa-pendapa rumah bangsawan ini sebagai hiburan sejenak.

TAK tahan kehidupan keraton, Srimulat lari dengan bekal 3,5 sen ke Surakarta dan Yogya, dan mendapat didikan Opas Sokasanta. Di sinilah petualangan seninya dimulai.

Ia melamar kerja ke dalang Ki Tjermosugondo lalu ke Ketoprak Chandra Ndedari pimpinan Ki Reksotruno yang mentas di Alun-alun Utara, yang kemudian mengajaknya keliling Jawa Tengah.

Ia kemudian pindah ke Paguyuban Wayang Orang Ngesti Rahayu pimpinan Nyi Murtiasih, yang bersuamikan pemimpin orkes, bernama Wiwoho. Orkesnya sering ditanggap di pesta-pesta kawinan. Srimulat pun belajar nyanyi hawaian dan keroncong.

Saat tampil di pasar malam amal di Magelang, ia bersua Tuan Mannoek, peranakan Belanda yg kerap adakan pasar malam. Ia pun makin rajin pentas keliling kota karena diajak para patcher (pemborong pasar malam). 

Ia sosok yang menolak menjadi Raden Ayu Adipati untuk menjadi Sripanggung. Nasihat Opas Sokasanta,  ‘’…. terjunilah dunia kesenian sampai ke lubuknya dan tumbuhkanlah benih-benih keindahan dan keluhuran sepanjang masa,’’ betul-betul tertanam di batinnya.

Srimulat lalu menari dan menyanyi dengan iringan Dardanella Orkest pimpinan Zubir dan Subadi. Tahun ketiga dalam kariernya, ia sudah dikenal di seluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ia seniman freelance. Bisa tampil dengan iringan siapa saja, termasuk Orkes Monte Carlo Junior yang kemudian ‘’loncat’’ ke pertunjukan Wayang Orang Kintamani yang hanya berjarak beberapa meter dari panggung sebelumnya, lalu loncat lagi ke pertunjukan ketoprak Tri Murni Utomo.

Tahun1937 ia bolak-balik Surabaya – Batavia dan masuk dapur rekaman  perusahaan piringan hitam Burung Kenari, Columbia dan His Master’s Voice. Ia juga menembus Bandung, menyanyi dan membantu rombongan Wayang Sunda Panghegar Sari, dan ikut dalam pagelaran busana Bandung Cianjuran. Juga, dengan Orkes kembang Seruni yang diminta nyanyi di perhelatan nikah yang dihadiri petinggi keraton dan Belanda.

Namanya pun melambung. Saking terkenalnya, tak jarang pengundangnya memasang spanduk: ‘’Sugeng Rawung Wara Srimulat’’ untuk menyambut kehadirannya. 

Ia terus bergerak dari nyinden, wayang orang, wayang golek, ketoprak dan grup musik lainnya di berbagai pasar malam. Ia kemudian menikah dengan penggemarnya, RM Suwandi.

Tapi, pernikahan tak lama, karena akhirnya tahu kalau ia berstatus sebagai istri kedua, sesuatu yang ia sendiri tentang.

Tapi, duka itu tak menghentikan langkahnya. Ia terus berkarier, menjadi penari di wayang orang, pesinden di pentas wayang golek, penyanyi di pentas musik.

Lalu 1941, ia menikah lagi dengan penggemarnya Raden Purwohadibroto dari Besuki. Untung tidak ada infotainment yang tahu kalau sri panggung yang ayahnya saat itu sudah jadi Bupati Anom Kasunanan Surakarta, terlibat dalam ‘’garis hidup’’ kawin cerai. Ya…, Silet, Intens, Insert, Hot Shot, Was Was atau Kiss belum ada saat itu, hehehehehehe….

Twitter: @maman1965
Twitter: @maman1965
SRIMULAT banyak melakukan pembaharuan dari segi busana panggung. Ia juga tidak setuju penari perempuan memainkan sosok Arjuna, Abimanyu atau Sri Rama dengan alasan tertentu; dan mengurangi adegan bertele-tele berbentuk sekaran atau tembang dalam dialog. Ia perbanyak porsi unsur humor dalam adegan seling. Ia tuangkan semua itu ke dalam Ketoprak Wara Mulat Budoyo, miliknya (1942).  Ia sempat mendapat penentangan dari tokoh ketoprak yang juga sahabatnya, Tjokrodjio atas revolusinya yg dianggap ‘’memporakporandakan’’ kesenian ketoprak yang sudah mapan dan mantap.

Srimulat senang memainkan tokoh Srikandi, Larasati, Pergiwa, Banowati, Suminten atau Lambing Sari yg ngedan, pura-pura gila, yang mewartakan kesadaran berpikir, penggugatan diri, kebangkitan jiwa, filsafat hidup, sekaligus untuk menghantam pihak penjajah Belanda dan menyebarkan ‘’virus’’ cinta tanah air. ‘’Tokoh gila’’ ini tak mengundang kecurigaan pihak polisi intel penjajah, yang kerap menguntip berbagai pertunjukan seni. Ini sebuah gambaran bagaimana: rakyat ‘liyan’, merefleksikan dirinya, sekaligus melakukan pemberontakan.

Srimulat tak secanggih Kartini menuliskan kiprah dan pemikirannya. Untung, ia banyak diliput oleh koran dan majalah di Solo, Yogya, Semarang, Surabaya:  Terang Boelan, Darmo Kondho, Penjebar Semangat, Kedjawen, Wasita, Warnasari dll.

Dari sana juga orang tahu tentang kelompok WO Sri Darmo Wandowo, Ketoprak Wara Mulat Budoyo dan Sandiwara Jawa Srimulat, cikal bakal lahirnya ‘’Srimulat’’ yg kita kenal seperti sekarang ini.

Srimulat juga pernah main dalam Ketoprak Krido Carito milik Nyonya Tan Ing Nio,  lalu ditarik Fred Young masuk rombongan Sandiwara Bintang Soerabaja, di mana ia kerap memerankan tokoh-tokoh kocak jenaka bersama Kuntjung, pasangan mainnya yang piawai melawak.

Di sini ini ketemu suami keempat, R Sunaryo, pelukis yang tugasnya membuat iklan lakon-lakon cerita Bintang Surabaja, tapi lalu cerai lagi tahun 1946.

Pergaulannya luas, dikenal di kalangan ketoprak, panggung musik dan tari, panggung wayang orang, hingga panggung sandiwara, di mana ia kemudian berkenalan dengan Tan Tjeng Bok, Hamid Arief, Darussalam, Rendra Karno, Astaman, Netty Herawaty, Fifi Young, dan Dahlia -- bintang-bintang besar panggung pertunjukan dan layar lebar di eranya. Ia juga tampil di panggung dagelan, bersua dan dekat dengan nama-nama besar seperti  Basiyo, Tembong, Togen, Noto Puspokok, Tirtjepak, Sastrokoro, Suro Gambir, Marto Pentil, dan Biadi. Ia pun akrab dengan dengan para pelukis dan pematung  yang mendukung pertunjukan panggungnya, macam Kartono Yudhokusumo, Trubus, Basuki Resobowo, Sulaiman, Emiria Sunassa.

Lalu akhirnya, Srimulat bertemu pemusik, anak angkat seorang buruh percetakan ‘’Liem Gwan Bie’’ (Go Bok Kwie) yang ikut dalam rombongan Sri Panggung  Miss Riboet (Miss Ribut’s Orion), dan grup keroncong paling kondang di Solo, OK Bunga Mawar, di mana seniman besar Gesang turut bergabung di dalamnya. Lelaki itu bernama Teguh.

Mereka dipertemukan saat OK Bunga Mawar dan juga Srimulat tampil memeriahkan terbentuknya  Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI), di Purwodadi.

Akhirnya, Teguh, pria 24 tahun (kelahiran 8 Agustus 1926) dan Srimulat, wanita 42 tahun itu terbakar cinta dan menikah pada Senin 8 Agustus 1950. 

Teguh dan Srimulat pun dan melahirkan ‘’anak terbesar’’ dan  ‘’terabadinya’’:  (grup lawak) Srimulat! 

Srimulat telah lama berpulang untuk selama-lamanya, Minggu 1 Desember 1968. Tetapi ‘’Srimulat’’ tidak pernah mati. Semenjak 1951 sudah ada Gema Malam Srimulat.

Lalu, sejarah mencatat, sejak Jumat, 19 Mei 1961 rombongan Gema Malam Srimulat untuk pertama kalinya manggung secara tetap di THR Surabaya. Terus berkembang dan melahirkan nama-nama besar, dalam peta sejarah seni komedi Indonesia.

Perlu waktu enam tahun lebih bagi Teguh untuk mengubah ‘’komposisi’’ pertunjukan dari musik dan nyanyian sebagai porsi utama serta lawakan sebagai penyeling, menjadi sebaliknya: komedi sebagai panglima!

Tak mudah bagi seorang Teguh sekali pun untuk menemukan rumus yang tepat, meracik cerita-cerita komedi khas Srimulat yang bisa membuat orang yang sedang sakit gigi pun terpingkal-pingkal. Kesannya sederhana: lawakan atau banyolan dapat tercipta dari hasil improvisasi sederhana, tanpa teks atau naskah, tanpa gladi resik, lalu semua serbaspontan, lepas tak terduga, mengalir, meluncur, meledak, dan geeeerrrrrr panjang, menembus zaman, lebih dari setengah abad, dan abadi hingga kini!!!

Yup, memang tak mudah mengail tawa. Tetapi, membuat orang terpingkal-pingkal adalah sebuah keniscayaan. Dan, di dalam senyum dan tawa kita tersemat nama seorang perempuan.

Perempuan itu bernama: 

Srimulat!

@maman1965

Ibu Srimulat  :   https://twitter.com/maman1965/status/412452369809408001/photo/1

(Terimakasih untuk sahabatku, Mas Herry Gendut Janarto, yang mau bersusah payah mengabadikan perjalanan seni komedi Indonesia, dalam salah-satunya buku: ''Teguh Srimulat: Berpacu dalam Komedi dan Melodi'', sehingga kami bisa tahu tentang perjalanan sejarah seni komedi di negeri ini)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun