Mohon tunggu...
Ainul Hidayah
Ainul Hidayah Mohon Tunggu... Lainnya - . .

Berbaris rapi lah bersama diksi, niscaya engkau abadi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Lazuardi Yang Tertutupi

17 November 2020   20:53 Diperbarui: 17 November 2020   21:16 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


 

Karya   :   Ainul Hidayah


Duniaku hari ini terasa berhenti, karena sosok yang selalu kujadikan inspirasi kini telah pergi menghadap sang Ilahi dan aku ingin seperti mereka yang mempunyai keluarga yang sempurna, tak sepertiku kini yang hidup sebatang kara.
Aku mengawali karir sebagai seorang penulis ,karena menulis sendiri merupakan hobi yang sekaligus profesi yang ibuku inginkan dari dulu, hingga saat ini aku terduduk sendiri di rumahku yang sederhana yang terletak di pinggaran kota Kediri, berukuran empat kali empat mencari inspirasi lewat secangkir kopi hitam yang sedari tadi belum ku sentuh .

Kediri, 07 Nopember 2020.

________________________________________________________

     "Aziz , ndang mrene o ewangono ibuk masak le . ." teriak wanita paruh baya dari balik bilik dapur .

 ''Enggeh buk Aziz mriku " jawabku.
Namaku Aziz, aku merupakan anak tunggal dan sebagai mahasiswa tingkat akhir di salah satu perguruan tinggi yang cukup terkena di kota Kediri, sebuah keberuntungan tersendiri bisa dilahirkan dari rahim seorang ibu yang notabennya sebagai seorang "single parents" semenjak kepergian ayahku menghadap sang pencipta 2 tahun lalu.
"Buk, kula badhe pamit medal rumiyen," ucapku seraya mengulurkan tangan untuk mencium punggung tangan ibu.
 "Iyo le, ati ati" pungkas ibu sambil mengelus rambutku pelan.
Lalu aku lekas berjalan sekitar 1 kilo lamanya untuk  menuju depan gang rumahku, untuk menaiki angkot tepatnya.
Tak beberapa saat suara deru laju kendaraan semakin nyaring ditelingaku, itu pertanda semakin dekatnya aku dengan tempat tujuanku dan tiba tiba, terdengar suara teriakan orang dari seberang jalan yang nampaknya sudah tak asing ditelingaku, " Mas  Ziz, mau kemana ?"
Dari kejauhan, dia nampak melambaikan tangannya untuk menyapaku dan kemudian aku mengingat ingat, beberapa detik kemudian aku tersadar dia adalah Sinta.
Sinta adalah temanku satu kampus dan kami kebetulan juga satu hobi, yakni menulis dan dia juga wanita yang diam-diam ku sebut namanya dalam do'a beberapa bulan terakhir ini.
"Aku mau mendaftarkan diri ke salah satu penerbit Sin, katanya ada seleksi karya sastra hari ini ,mana tau nanti karya ku masuk salah satu nominasi disana . .hehehe" jawabku
 " Eh kebetulan juga mas aku habis pulang dari rumah temenku , aku sekalian ikut mas aziz boleh ? " Ucapnya .
 "Iya ,boleh aja sin" ucapku dengan nada malu malu.

     Setelah sekitar 15 menit aku dan sinta menunggu angkot ,akhirnya angkot tujuan kita pun datang juga dan hanya ada aku, Sinta dan seorang Ibu paruh baya yang membawa sekeranjang sayur mayur, sang Ibu rupanya habis berbelanja dari pasar.
Hanya kami berempat yang ada di dalam angkot itu ,maklumlah karena mungkin hari ini masih pagi jadi belum banyak orang yang menaiki angkot.
 "Pak nanti turun depan gedung setelah alun alun ya,"
 ''Siap Mas Ajis '' ucap pak sopir angkut kemudian.
 Pak sopir itu Anto namanya, usianya tak beda jauh kira -- kira hanya jeda 3 tahun denganku, dimana aku dan Anto sudah sangat akrab karena aku selalu menaiki angkot kuningnya jika akan pergi kemana mana.
Suasana lalu berubah menjadi canggung setelah ibu tadi turun dari angkot, tinggal tersisa Pak Anto, aku dan Sinta. Pak Anto tak mengajakku berbincang seolah memberikan aku dan sinta ruang untuk sekedar mengobrol bersama.
"Dek Sin , coba baca puisi ku ini, barangkali nanti aku jadi penulis terkenal nanti kamu nggak bisa lihat karya -- karyaku lagi lo," tanyaku, sambil sedikit tertawa untuk mencairkan suasana, hehe.
Sinta pun segera membuka map berwarna merah jambu yang kusodorkan padanya, ia lalu membaca lekat-lekat puisi berjudul "Izinkan Aku Tetap Di Hatimu." Sinta kemudian menerbitkan lesung pipinya yang begitu manis tehadapku, "puisinya bagus banget mas, beda dari yang dulu dulu" pungkas sinta beberapa detik kemudian.
Memang, aku sangat enggan untuk mengikuti even -- even menulis puisi atau semacamnya, bukan karena malas tetapi karena aku pesimis karya-karyaku bisa bersanding dengan beberapa penulis lainnya, tapi hari ini beda berkat inspirasi dari ibuku.

     Suatu pagi beliau berkata, " Le . .puisimu iku apik , jajal digawa nang event event le , ndak usah minder le ,tetep nggunakne kata basa Indonesia sing apik ya le."

Kata -- kata Ibu ku itu masih terngiang jelas memenuhi isi kepala ku , itu adalah keinginan ibu yang harus aku wujudkan dan ibu juga merupakan inspirasi dan penyemangat dalam setiap diksiku. Ingin rasanya aku mengatakan pada Sinta, bahwa wanita yang ku maksud adalah dia dan entah apa yang membuatku selalu mendamba paras ayu nya itu.
"Mas aziz udah sampai ini lho," ucap sinta, seraya menepuk punggungku dan membuyarkan lamunanku.
 "Oh udah sampai ta Sin, aku abis membayangkan apa yang harus kulakukan setelah sukses nanti ,apakah lebih dulu mencetak buku atau meminangmu?" goda ku pada Sinta.
 Sinta tak menjawab , hanya semburat merah jambu di pipinya yang terlihat malu malu menampakkan diri, tak lama aku bergegas turun dari angkot pak Anto sambil menyerahkan dua lembar uang dua puluh ribuan.
" Ambil aja kembaliannya pak ," ucapku.
" makasih mas Ajis,'' jawabnya.
 Tak selang beberapa lama, punggung angkot pak anto pelan pelan hilang dari pandangan.
 "Bismillah , semoga ini menjadi awal yang baik," ucapku dalam hati.
Kami berdua pun segera memasuki bangunan bergaya semi belanda dengan aksen biru tersebut, tampak pria  berkemeja kotak kotak tengah berjalan menghampiri kami dan bertanya "ada yang bisa kami bantu mas?".
 "Iya Pak , saya mau mengikuti  event karya sastra yang diselenggarakan oleh pihak penerbit disini Pak," ujarku kemudian.
 Sinta lalu menepuk bahuku pelan, katanya dia mau keluar sebentar mau beli minum ,kebetulan diseberang jalan raya dekat gedung ini ada mini market, lalu akupun mengangguk pelan pada Sinta.
"Kemari mas, ikuti saya" ucap pria berkemeja kotak-kotak.
 "Iya, Pak," pungkasku, lalu aku mengikuti pria tersebut.

     Tak berselang lama kami pun melewati beberapa koridor gedung tersebut, lalu sampailah aku dan pria tersebut di salah satu ruangan paling pojok di gedung tersebut.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun