Mohon tunggu...
Akmal Sofiandy
Akmal Sofiandy Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Hubungan Internasional UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Anggota Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Cabang Ciputat

Mencoba terpelajar

Selanjutnya

Tutup

Politik

Donald Trump dan Kebangkitan Politik Identitas Amerika Serikat

13 Mei 2020   19:50 Diperbarui: 13 Mei 2020   21:19 1187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kemenangan Donald Trump di pemilihan presiden Amerika Serikat pada November 2016 merupakan satu dari sekian banyak bukti nyata kebangkitan politik identitas. Donald Trump mengalahkan Hillary Clinton yang dinilai terlalu mementingkan identitas kelompok-kelompok pendukungnya – LGBT, feminis, kulit hitam dan muslim – sehingga Clinton melupakan identitas rakyat yang mendominasi di Amerika Serikat. Kemenangan Donald Trump menurut berbagai pengamat politik Amerika Serikat merupakan hasil gerakan yang mengedepankan paham populisme dengan berbasis dari orang-orang yang memiliki identitas dominan di Amerika Serikat.

Tidak hanya di Amerika Serikat, gerakan politik identitas kini sangat berkembang di negara-negara demokrasi lainnya. Gerakan politik identitas dinilai sangat efektif dalam mendulang suara masyarakat dominan karena “menyentuh” ranah identitas yang sensitif seperti isu SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan).

Hal ini pula yang diterapkan oleh Donald Trump semasa kampanye untuk mendulang suara mayoritas. Donald Trump yang semasa kampanye dikritik sebagai seorang rasis, narsis, megalomania dan masih banyak yang lainnya kini duduk sebagai orang nomor satu di Amerika Serikat berkat gerakan politik identitas yang ia gunakan.

Menurut pengamat politik seperti Inglehart dan Norris, mereka mengatakan bahwa pada dasarnya penyebab dari menguatnya politik identitas yang erat kaitannya dengan paham populisme adalah kesenjangan ekonomi dan pertentangan kultural. Dua hipotesis ini dirasa mewakili semua aspek yang menjadi pondasi dasar bagaimana sebuah gerakan politik identitas dan paham populisme bisa menguat dewasa ini.

Kesenjangan ekonomi yang menjadi penyebab menguatnya populisme dan gerakan politik identitas berawal dari krisis finansial global pada 2008-2009. Krisis ini menyebabkan perekonomian di negara-negara Barat untuk mencari keseimbangan yang baru. Di saat yang sama, globalisasi ekonomi menyebabkan banyak lapangan pekerjaan khususnya pada bidang manufaktur untuk pindah ke Meksiko, India, Tiongkok dan bahkan Afrika. Di lain sisi, bidang produksi jasa juga mengalami perpindahan, revolusi teknologi dan informasi yang terjadi mendorong pekerjaan yang tadinya harus dilakukan di tempat, kini bergeser dan bisa dikerjakan dari jarak jauh.

Inglehart dan Norris namun mengatakan bahwa penyebab utama dari menguatnya politik identitas dan populisme bukanlah kesenjangan ekonomi, melainkan pertentangan kultural. Kesenjangan ekonomi tidak bisa menjelaskan hubungan yang erat di antara tingkat pengangguran, tingkat pendapatan rumah tangga atau status pekerjaan dengan preferensi pilihan politik. 

Faktor kesenjangan ekonomi mungkin bisa menjelaskan mengapa Hillary Clinton kalah dalam koridor industri di Philadelphia dan Detroit.  Tetapi selebihnya, kesenjangan ekonomi hanya berhenti dalam perbincangan yang dinilai kurang mampu menggambarkan bagaimana sebenarnya gerakan populisme dan politik identitas bisa menguat hari ini.

asdasdasd-5ebc00a5097f3648526782b3.jpg
asdasdasd-5ebc00a5097f3648526782b3.jpg
Mengambil contoh kasus di Amerika Serikat dalam tiga dekade terakhir ini, semakin tingginya dukungan terhadap kelompok minoritas – LGBT, kulit hitam, hispanik dan imigran – merupakan bukti yang menyebabkan pertentangan kultural ini semakin menguat. Pertentangan ini terjadi di antara pendukung kelompok minoritas yang datang dari kalangan usia muda dan berpendidikan tinggi dengan orang-orang yang merasa terancam dengan keberadaan kelompok minoritas. 

Orang-orang yang merasa terancam dengan keberadaan kelompok minoritas ini dikarenakan mereka menilai kelompok ini bertentangan dengan peradaban dan nilai-nilai yang mereka anut selama ini. Pada akhirnya hal ini mengakibatkan naiknya dukungan kepada politisi yang menyerukan dan menjaga nilai-nilai yang mereka anggap lebih cocok dengan keadaan, khususnya Amerika Serikat.

Itulah mengapa kita melihat kemenangan Donald Trump di Amerika Serikat. Dengan berbagai kekurangan dan kritik yang Trump dapatkan, justru rakyat yang mendominasi Amerika Serikat menilai Trump mampu menahan lajur perkembangan LGBT dan kelompok-kelompok minoritas lainnya. Pergesekan antar identitas yang disebut Trump berulang kali dalam kampanye berubah menjadi sebuah narasi yang di-amin-kan oleh mayoritas warga Amerika Serikat. Pertentangan kultural yang terjadi di Amerika Serikat pada akhirnya menjadi penyebab utama mengapa gerakan populisme dan politik identitas menguat.

Tren populisme dan politik identitas masih kita bisa lihat dalam menghadapi pilpres Amerika Serikat selanjutnya. Pola yang digunakan Donald Trump untuk melawan Joe Biden masih mengandalkan suara yang didapatkan dari kelompok mayoritas yang ada di Amerika Serikat. Meskipun pada akhirnya populisme dan politik identitas akan banyak menyebabkan konflik yang bersifat horizontal (rakyat dengan rakyat). Tetapi populisme dan politik identitas adalah barang yang memiliki nilai jual tinggi bagi siapa saja yang menggunakannya dalam mengumpulkan dukungan seperti politisi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun