Mohon tunggu...
Akmal Galla Cendang
Akmal Galla Cendang Mohon Tunggu... Guru - Pendidik

Penikmat kopi yang gandrung membaca novel. Bekerja sebagai pendidik, siswa Kelas Literasi Paradigma Institute, Anggota Komunitas Literasina Cendekia (LINCA), dan Anggota Komunitas Readpublik,

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Virus Itu Bernama Rindu

5 April 2020   09:00 Diperbarui: 5 April 2020   10:38 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

                       Image by: Pixabay.com

       Social distancing dan lockdown merupakan sikap pemerintah, guna memutus mata rantai penyebaran virus corona. Masyarakat diminta mengalienasi diri dari komunitas sosial dan menjauhi tempat-tempat umum. Tentu saja upaya tersebut harus dilakukan sepenuh hati, diiringi dengan kedisiplinan tinggi, dan saling percaya satu sama lain.

       Tak cukup sampai disitu, Kemendikbud dan Dinas Pendidikan pun mengambil langkah tegas. Sebelum corona menapakkan kaki di ruang-ruang kelas, sekolah dari jenjang TK sampai SMA terpaksa diliburkan dan ujian nasional dibatalkan. 

       Aktivitas sekolah yang padat dan proses belajar mengajarnya, mau tak mau, suka tak suka, harus diungsikan ke media daring. Sekolah yang tempo hari menjadi tempat ramai, penuh canda gurau, dan tawa, kini hanya menyisakan ruang-ruang kelas sepi nan kosong.

       Awalnya, saat mendengar urita tersebut beberapa peserta didik amat girang. Pasalnya kata libur selalu dinantikan jika kejenuhan belajar mulai menyesaki dada. 

       Belajar online pun menjanjikan kesenangan, bisa belajar santai sambil rebahan, minum kopi, dan makan kuaci. Sesekali buka Pupg Mobile atau Mobile Legend, mabar sepuasnya dengan teman sejawat.

       Ekspektasi para siswa ternyata buyar setelah beberapa hari kelas digital dilangsungkan. Mereka jatuh pada kesibukan melebihi di sekolah. Setiap hari harus bangun pagi seperti biasa, berhadapan dengan gadget selama berjam-jam. 

       Lalu menyelesaikan tugas-tugas dari guru hingga lembur. Naas bagi anak "pemalas" yang orang tuanya memiliki disiplin tinggi dan perhatian lebih pada pendidikan, orang tua mereka terjun menjadi guru. Terkuaklah fakta lewat guyon dikalangan murid, "bahwa orang tua di rumah lebih galak dari guru-guru di sekolah."

       Siswa dengan hasrat belajar tinggi tak ketinggalan mengeluh, merasa tidak puas dan sulit memahami materi pelajaran yang disajikan. Pelajaran yang biasanya disampaikan dengan beragam cara di kelas, kini hanya dipaparkan melalui video pembelajaran atau bahan bacaan saja.

       Selain masalah tersebut, terdapat hal-hal fundamental yang tak bisa ditemukan di dunia digital. Apa yang ditampilkan dalam dunia data terkadang merupakan realitas yang semu. 

       Hal ini diungkapkan Haidar Bagir dalam bukunya, Memulihkan Sekolah Memulihkan Manusia, dengan menukilkan pendapat filsuf Prancis, Jean Boudrillard. 

       Belajar online melalui gadget mereduksi berbagai kelebihan berinteraksi dengan kedahsyatannya, bahkan keluhuran dan keindahan alam yang hidup. Pasalnya apa yang muncul dalam layar gadget merupakan simulacrum.

      Gayung bersambut, tereduksinya kelebihan berinteraksi plus diperpanjangnya masa sekolah online, menggiring anak-anak ke kawah kejenuhan. Di tempat ini, virus baru menjangkiti mereka. Virus itu bernama rindu.

       Para murid merindukan suasana kelas yang penuh canda gurau, tawa dan kejahilan-kejahilan bersama teman-temannya. Atawa kisah romantisme remaja yang penuh warna. 

       Perasaan itu mereka tumpahkan pula di media sosial, lewat postingan kata-kata secara gamblang, video atau foto-foto kebersamaan mereka di sekolah.

       Sunyatanya para guru pun tak luput dilanda rindu berat. Kebahagian kala melihat senyum dan tawa tulus anak-anak bukanlah hal yang mudah didapatkan, meski sesekali tingkah laku mereka kerap membikin jengkel dan marah. 

       Lucu memang. Kala di sekolah kita menunggu waktu libur, mengaku lelah, dan terkadang mengutuk segala rutinitas itu pada level menjemukan. Tapi saat libur itu diberikan, kita malah ingin kembali ke sekolah.

       Walhasil, semua pengalaman kebersamaan dan perasaan bahagia saat bersenda gurau di sekolah, tak bisa ditransfer ke dunia digital. Anak-anak juga tidak bisa terus terpapar gawai dengan segala kandungannya yang beragam. Dibutuhkan penawar agar jiwa anak-anak tidak selamanya terjebak di dunia data.

       Yah.. cinta dan sentuhan ajaib orang tua sangat dibutuhkan kini. Sebab pasa masa social distancing seperti inilah, orang tua miliki banyak waktu bersama anak dan itu harus dimaksimalkan dengan baik.

       Memberi perhatian, menjalin komumikasi intens, mendampingi anak belajar, dan memberikan pelukan-pelukan hangat atawa senyum meneduhkan agar anak merasa dicintai. Percayalah, sentuhan ajaib orang tua sangat mujarab bagi perkembangan kecerdasan dan kebahagiaan anak.

       Orang tua harus andil mendidik dan mendampingi anak selama proses belajar online. Sedang guru harus pandai menciptakan suasana belajar daring yang membahagiakan anak. Kooperatif teaching (kerjasama dalam mendidik) antara guru dan orang tua harus diciptakan, demi keberhasilan belajar online.

      Kooperatif teaching seperti ini mestinya digiatkan, baik pada masa pandemi corona atau pun setelah sekolah kembali dibuka. Adanya sinergi dan komunikasi intens antara guru dan orangtua, memungkinkan terjadinya pertukaran informasi tentang perkembangan dan masalah yang dihadapi anak. Data itu kemudian digunakan menciptakan suasana rumah dan kelas yang menyenangkan dan membahagiakan anak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun