Mohon tunggu...
Akmal Maulana
Akmal Maulana Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Nature

Ada Degradasi Nilai di Mapala Indonesia

13 November 2018   00:04 Diperbarui: 13 November 2018   01:00 3731
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi GERTAK (Gerakan Anti Perampasan Tanah Rakyat) Sinjai

"Mapala. Tugasmu tidak hanya mendaki. Tapi juga melindungi. Jika keserakahan datang, bersiaplah untuk menghadang!" Seperti itulah ungkapan Berdikari, media  yang cukup tenar di Indonesia yang dituangkan melalui sebuah poster.

Tulisan ini tiada maksud untuk mendiskreditkan Organisasi Mahasiswa Pencinta Alam yang selanjutnya disebut Mapala atau organisasi serupa dengan nama lainnya yang ada di Indonesia. Tulisan ini pula sama sekali tak ada maksud untuk 'menghakimi' organisasi yang kerap melakukan aktifitas alam bebas. Tulisan ini semata-mata curahan atas apa yang penulis amati mengenai Mapala secara umum.

Seperti yang sebagian khalayak luas ketahui bahwasanya Mapala adalah organisasi yang acapkali melakukan kegiatan alam bebas seperti Gunung Hutan, Panjat Tebing, Susur Gua, Arung Jeram atau Paralayang dan lainnya.

Dilain sisi, organisasi ini, kerap kali mendapat hujatan warganet karena beberapa hal, bahkan Mapala seolah tidak pernah berbuat secuil kebaikan. Padahal, organisasi ini aktif dalam beragama kegiatan, termasuk kegiatan misi kemanusiaan seperti terlibat aktif dalam operasi pencarian korban, menjadi relawan bencana, bahu-membahu dalam pendampingan desa atau bergerak aktif dalam pelestarian lingkungan. Demikianlah kehidupan manusia, kadang setitik keburukan akan lebih mentereng ketimbang segudang kebaikan, seperti mudahnya mengingat kesalahan dan sulitnya mengingat kebaikan.

Saat ini, Gaung Mapala semakin tidak terdengar dari hiruk pikuk perjuangan lingkungan yang justru mengalami degradasi luar biasa dari tahun ke tahun.

Tiap tahun, Indonesia kehilangan hutan seluas 684.000 hektar akibat pembalakan liar, kebakaran hutan, perambahan hutan dan alih fungsi lahan. Menurut data yang dirilis Badan Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) berdasarkan data dari Global Forest Resoursces Assessment (FRA), Indonesia menempati peringkat kedua dunia tertinggi kehilangan hutan setelah Brazil yang berada diurutan pertama. Demikian pula laju pencemaran sungai dan laut serta bagian lainnya yang semakin memprihatinkan. Gaung Mapala pun semakin jauh dari pendiskusian tentang politik lingkungan, kajian kebijakan lingkungan atau bentuk pengorganisasian rakyat dalam melawan korporasi perusak lingkungan.

Padahal Soe Hok Gie yang mungkin sebagian orang menyebutnya 'Kakek Mapala' adalah demonstran tulen yang peduli dan berani melawan penguasa. Ada degradasi nilai Pencinta Alam yang tak kalah memprihatinkan dengan degradasi lingkungan sebagai isu pemersatunya. Darimana hal tersebut bermula?

Salah satu faktor yang membuat Mapala terkesan kehilangan 'taring' adalah ketika rezim Orde Baru di tahun 1978/1979 secara paksa menerapkan konsep Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK). Akibat itu semua, daya kritis mahasiswa (secara umum) untuk mengkritik kebijakan pemerintah Soeharto mulai tak berdaya. Doktrin "Tugas mahasiswa adalah belaja rsesuai dengan disiplin ilmu. Mahasiswa tak usah berpolitik karena politik tak boleh masuk kampus. Lagipula, kalau berpolitik, akan telat wisuda. Mahasiswa ideal adalah yang rajin kuliah, lulus dalam waktu singkat dan setelah wisuda cepat dapat kerja" bisa dikatakan cukup berhasil membius gerakan mahasiswa kala itu, tak terkecuali Mapala itu sendiri. Tak ada maksud lain dari doktrin tersebut kecuali untuk menjauhkan mahasiswa dari aktivitas politik agar rezim Soeharto aman tanpa pengusik.

Ditambah diera sekarang yang beberapa kampus mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang membuat mahasiswa menjadi semakin tak berdaya dan kehilangan daya kritisnya dan bahkan mengeluarkan sanksi bagi mahasiswa yang berani mengkritik kebijakan kampus maupun kebijakan lainnya. Contohnya saja yang dialami Julio Belnanda Harianja (23) mahasiswa Universitas Negeri Semarang (Unnes) yang dikenakan hukuman pemberhentian sementara atau skorsing oleh pihak kampus karena beberapa unggahannya dimedia sosial yang mengkritik persoalan Uang Kuliah Tunggal (UKT) dianggap memicu kebencian terhadap petinggi kampus dan dinilai ikut memprovokasi aksi proteskenaikan uang pangkal kuliah yang berakhir ricuh pada Juni lalu

Alhasil, daya kritis daya kritis mahasiswa itu sendiri perlahan dikekang. Mapala pun ikut terseret dan nyaris tidak ada perlawanan terhadap produk hukum yang berimplikasi merusak lingkungan misalnya. Selain itu, sebagian Mapala pun bisa dikata 'lalai' dengan masalah lingkungan dan apatis terhadap aktifitas politik yang berkaitan dengan lingkungan. Lebih parahnya lagi, sangat banyak yang beranggapan bahwa 'Pencinta Alam yang baik adalah mereka yang tidak bersentuhan dengan politik'. Dimata mereka, politik dan pencinta alam merupakan dua hal yang 'haram' untuk disatukan.

Padahal, ranah politik dan demonstrasi bukanlah hal baru bagi Pencinta Alam secara umum dan Mapala secara khusus. Gie adalah demonstran tulen dan aktivis mahasiswa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun