Mohon tunggu...
Akmal Sjafril
Akmal Sjafril Mohon Tunggu... -

Penulis lepas, blogger, peminat wacana pemikiran Islam, peneliti INSISTS, wirausahawan dan maniak basket.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Millah Ibrahim

29 Agustus 2016   13:51 Diperbarui: 29 Agustus 2016   13:56 247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

assalaamu’alaikum wr. wb.

Dalam sebuah lingkar pengajian yang saya pimpin, tibalah kami pada sejumlah ayat dalam Surah Al-Baqarah yang sangat menarik perhatian. Ayat-ayat itu kemudian menjadi bahan diskusi kami sepanjang sore.

Ayat-ayat yang menjadi bahasan terletak di sekitar pertengahan surah, diawali dengan kisah pertentangan klasik antara orang-orang Yahudi dan Nasrani. Pada ayat ke-113, Al-Qur’an menjelaskan bagaimana kaum Yahudi dan Nasrani saling menjelekkan satu sama lainnya, saling menuduh bahwa lawan debatnya itu tidak memiliki pegangan. Al-Qur’an tidak berpihak kepada salah satu di antara keduanya, namun menyelipkan sedikit ‘petunjuk’ di balik kata-kata “...padahal mereka (sama-sama) membaca Al-Kitab.” Artinya, perselisihan akan usai andaikan saja mereka mau membaca Kitab Suci yang diturunkan kepada mereka, terutama Taurat dan Injil.

Selang beberapa ayat, kita akan menjumpai ayat 120 yang sangat terkenal, yaitu ayat yang menyebutkan bahwa orang-orang Yahudi dan Nasrani takkan ridha kepada kita hingga kita mengikuti jejak mereka. Di sini, “agama” disebutkan dengan kata “millah”. Muncullah kesan bahwa perdebatan antara kaum Yahudi dan Nasrani ini mau tak mau juga melibatkan umat Muslim. Di mata mereka, umat Muslim adalah umat yang ‘nakal’. Sebab, Islam muncul di tengah kericuhan antara Yahudi dan Nasrani. Mereka yang membaca Taurat dan Injil – meski pada masa itu kedua kitab ini sudah dipalsukan juga sebagiannya – pasti mengenali tanda-tanda kenabian pada diri Rasulullah saw. Hanya saja, karena ada hal yang tidak sesuai dengan kehendak mereka, maka seruan beliau ditolak. Ayat ke-121 seolah mengelaborasi lebih lanjut ‘sentilan’ di ayat 113, di mana Allah SWT berfirman: “Orang-orang yang telah kami berikan Al-Kitab kepadanya, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya, mereka itu beriman kepadanya.” Jadi, yang membacanya dengan benar niscaya beriman, dan mereka yang tidak beriman pastilah karena tidak membaca dengan benar.

Ayat ke-122 menyeru kepada Bani Israil, yang merupakan unsur utama dalam kelompok Yahudi dan Nasrani. Allah SWT menyeru agar mereka mengingat-ingat nikmat Allah. Tentu tidak aneh jika Bani Israil diberi peringatan dengan keras, sebab mereka memang terlalu sering ‘lupa’.

Mulai ayat ke-124, Al-Qur’an mengingatkan kita semua kepada Nabi Ibrahim as. Ketika Rasulullah saw berdakwah kepada Bani Israil, bertolak pada figur Nabi Ibrahim as memang memiliki nilai strategis. Sebab, Bani Israil adalah keturunan Nabi Ishaq as, sedangkan Rasulullah saw adalah keturunan Nabi Isma’il as, dan kedua nabi ini adalah anak kandung Nabi Ibrahim as.

Menariknya, penjelasan tentang Nabi Ibrahim as diawali dengan sebuah doa yang beliau panjatkan kepada Allah, namun doa tersebut ditolak (atau bisa juga dikatakan ‘diterima dengan syarat’). Pada ayat ke-124, Allah SWT menjelaskan mengapa Dia begitu menyayangi Nabi Ibrahim as, dan kemudian Dia mengangkatnya menjadi Imam bagi seluruh manusia. Karena kasih sayangnya, Nabi Ibrahim as pun memohon agar keistimewaan tersebut juga diberikan kepada seluruh keturunannya. Akan tetapi, Allah SWT menegaskan bahwa hal tersebut tidak akan diberikan kepada orang-orang yang zalim.

Ungkapan ini seolah menohok kaum Bani Israil yang membangga-banggakan diri sebagai keturunan Nabi Ya’qub as, Nabi Ishaq as dan Nabi Ibrahim as, padahal perilaku mereka jauh dari tuntunan para Nabi. Bahkan mereka dahulu telah mendurhakai Nabi Musa as, menyakiti Nabi Zakaria as dan Nabi Yahya as, dan tentu saja kini pun mereka menyangkal otoritas Nabi Muhammad saw. Segala kezaliman yang mereka lakukan telah menjadikan nasab mulia mereka menjadi tidak relevan. Oleh karena itu, tidaklah pantas mereka merasa lebih mulia daripada orang lain, apalagi menolak Rasulullah saw yang sebenarnya juga keturunan Nabi Ibrahim as.

Ayat 125-129 menjelaskan tentang apa yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim as dan Nabi Isma’il as dahulu ketika meninggikan pondasi Ka’bah dan beberapa doa yang dipanjatkannya ketika itu. Uraian ini seolah mengokohkan kembali legitimasi Nabi Isma’il as, Baitullah dan seluruh syari’at yang terkait dengannya. Seolah-olah Al-Qur’an hendak menunjukkan kepada Bani Israil: inilah yang telah diperbuat oleh kakek kalian, Nabi Ibrahim as, bersama paman kalian, Nabi Isma’il as, maka ikutilah jejaknya!

Ya, ikutilah jejak Nabi Ibrahim as! Ikutilah millah beliau! Maka bukanlah kebetulan jika di ayat ke-130 istilah ‘millah Ibrahim’ ini muncul dan dinyatakan dengan tegas. Bahkan Allah SWT menegaskan bahwa hanya orang bodoh yang membenci millah Ibrahim, sebab Allah sendiri telah menyatakan cinta-Nya kepada beliau.

Ayat ke-131 menjelaskan bahwa Nabi Ibrahim as adalah hamba Allah yang teramat patuh, dan kepatuhan itulah yang diwariskan kepada keturunannya. Sikap patuh itu di kemudian hari juga ditunjukkan oleh cucu beliau, Nabi Ya’qub as. Dua ayat berikutnya bercerita tentang betapa teguhnya hati Nabi Ya’qub as, sehingga di penghujung usianya pun beliau masih sempat berwasiat kepada anak-anaknya. Ketika itu, anak-anak Nabi Ya’qub as berikrar akan mengikuti agama ayah dan nenek moyang mereka, dan mereka menyebutnya dengan jelas: Ibrahim, Isma’il dan Ishaq! Maka, Bani Israil yang mengaku sebagai keturunan Nabi Ya’qub as (Israil adalah sebutan beliau) sudah selayaknya memenuhi seruan untuk mengikuti millah Ibrahim as.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun