Seperti kita tahu bersama, saat pandemi seperti sekarang ini segala aktifitas di dunia nyata dibatasi. Bahkan istilahnya pun berganti-ganti. Dari pembatasan sosial berskala besar (PSBB), pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM), lalu muncul lagi PPKM Mikro dan yang terakhir PPKM Darurat. Inti dari semua istilah tersebut adalah pembatasan. Segala aktifitas di luar rumah dibatasi, ketika berinteraksi harus berjarak, dan tetap menggunakan masker. Setelah berkaktifitas rajin-rajin untuk mencuci tangan. Aktifitas tersebut di masa sekarang dimaknai sebagai protokol kesehatan. Semuanya itu dilakukan di dunia nyata.
Karena maraknya pembatasan di dunia nyata, banyak masyarakat yang melarikan diri ke dunia maya. Segala aktifitas di dunia maya sangat meningkat di masa pandemi ini. Mulai dari aktifitas jual beli, aktifitas mencari informasi, mencari uang, apa saja yang dilakukan di dunia maya mengalami peningkatan. Mulai dari yang positif hingga yang negative.Â
Termasuk salah satunya adalah maraknya kebencian yang diumbar secara vulgar di dunia maya. Dan kebencian tersebut juga banyak dilabeli kepentingan tertentu. Mulai dari kepentingan politik, agama, hingga kepentingan yang lebih sederhana seperti suka sama suka, dilabeli sudut pandang kebencian.
Pertanyaannya sederhana. Kenapa kita saling membenci? Kenapa kita selalu merasa benar sampai akhirnya merasa orang lain sebagai pihak yang salah? Kenapa posisinya tidak dibalik saja, bahwa kita berada di posisi yang salah sehingga kita akan terus melakukan introspeksi. Dalam kondisi seperti sekarang ini, introspeksi perlu dilakukan agar kita tidak merasa paling benar, agar kita tidak merasa sehat atau merasa yang paling lainnya.
Banyak orang mengkritisi kebijakan vaksin lalu menyebarkan provokasi kepada masyarakat agar tidak mau divaksin. Sementara, mereka tidak mau menjaga protokol kesehatan. Ketika diminta vaksin tidak mau dengan berbagai alasan. Giliran ketika dinyatakan positif, menyalahkan pemerintah. Tanpa disadari, hal-hal semacam itu bisa berpotensi menjadi bibit radikalisme. Kok bisa? Merasa dirinya paling benar dan memandang orang yang berbeda sebagai pihak yang salah. Pola pikir semacam ini tanpa disadari bisa memunculkan bibit radikalisme di dalam dirinya.
Lihat saja apa yang terjadi selama pandemi. Narasi-narasi menyesatkan begitu banyak bermunculan. Awal pandemi, pemerintah dianggap tidak berpihak pada umat muslim, ketika melakukan kebijakan penutupan tempat ibadah sementara. Narasi menyesatkan terus bermunculan. Padahal penutupan tersebut dimaksudkan untuk meredam penyebaran virus di tempat ibadah. Anjuran pemerintah untuk menggunakan masker dan ibadah dari rumah, dimaknai sebagai bentuk tidak takut pada Allah dan lebih takut pada virus. Dan pandemi ini juga dimaknai sebagai tentara Allah, untuk membersihkan orang-orang yang sesat. Karena itu dianjurkan untuk tidak menggunakan masker, karena covid dianggap rekayasa. Apakah hal ini benar? Silahkan mencari referensinya. Karena semuanya itu jelas salah.
Faktanya, banyak orang meninggal karena covid. Rumah sakit penuh bahkan kekurangan kamar tidur, oksigen dan segala macamnya juga karena covid. Tempat pemakaman penuh karena diisi pasien covid yang meninggal. Dulu covid melanda orang-orang jauh, kini sudah mulai menyasar teman-teman dekat kita.Â
Apakah ini masih rekayasa? Covid melanda hampir diseluruh dunia. Apakah ini rekayasa? Lebih kita tidak usah mencari ini rekayasa atau bukan. Jika benar ini rekayasa, biarlah menjadi urusan Allah SWT. Tugas kita sekarang ini adalah mengedepankan protokol kesehatan, menjaga imun, jaga fisik dan psikis, serta menjauhkan diri dari informasi dan pemikiran yang menyesatkan. Salam sehat selalu.