Era digital merupakan tanda kemajuan zaman. Era digital membuat segalanya semakin mudah dan efisien. Jika dulu untuk mendapatkan buku yang diinginkan, harus mencari dari satu toko ke toko yang lain. Untuk mendapatkan informasi tentang lowongan pekerjaan, harus membeli Koran, atau dari relasi teman, saudara atau tetangga. Untuk memesan tiket pesawat, kereta, hotel dan lain sebagainya harus datang ke lokasi. Kini berkat kecanggihan teknologi, semuanya serba dimudahkan.
Berkat kemudahan itulah, banyak aktifitas di dunia nyata lari ke dunia maya. Tak terkecuali aktifitas dakwah, yang biasa dilakukan dengan cara mengumpulkan orang di sebuah ruangan atau tempat ibadah, kini bisa dilakukan melalui telepon genggamnya masing-masing. Banyak masyarakat yang belajar agama melalui handphone, melalui ceramah-ceramah secara virtual.
Sayangnya, tidak sedikit ceramah yang berkembang secara virtual, justru tidak seperti yang diharapkan. Banyak pelaku terorisme mengaku mengenal radikalisme dari internet, melalui ceramah-ceramah di media sosial. Apalagi di era milenial seperti sekarang ini, informasi bohong atau hoaks juga masif terjadi. Banyak masyarakat yang bersumbu pendek, mempunyai aktifitas menyebar informasi tanpa melakukan cek ricek terlebih dulu.
Yang perlu dikhawatirkan adalah jika hoaks tersebut dianggap sebagai kebenaran, lantaran diucapkan oleh tokoh politik, tokoh masyarakat, ataupun tokoh agama. Banyak contoh yang bisa kita jadikan pembelajaran. Para tokoh tidak sedikit yang menjadi korban hoaks. Lalu disebarluaskan melalui ceramah secara virtual. Akibatnya, kebohongan itu dianggap sebagai sebuah informasi yang valid. Kondisi inilah yang berbahaya. Apalagi jika disusupi pesan kebencian dan provokasi, akan memicu terjadinya konflik di tengah masyarakat.
Propaganda radikalisme saat ini masih terus menyebar. Paham negative itu masih terus disebarkan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Dan ironisnya, kita terkadang begitu saja mudah mempercayainya. Apalagi jika ada singgungan ayat-ayat agama. Padahal, semuanya itu merupakan bagian dari upaya membelokkan fakta dan arti yang sesungguhnya. Istilah jihad misalnya. Berkembang dengan banyak macam versi, tergantung disebarkan oleh kelompok apa. Jihad ada yang dimaknai berjuang di jalan Allah, bekerja mencari nafkah, bahkan ada juga perilaku teror dengan bom bunuh diri juga dimaknai sebagai jihad. Pembelokan tersebut berpotensi terjadi melalui ceramah secara virtual.
Karena itulah, penguatan literasi tetap diperlukan untuk melawan informasi yang menyesatkan. Tanamkan dalam diri kita untuk tidak mudah percaya pada siapapun. Cek ricek setiap informasi. Cari pembanding informasi dari sumber yang valid, agar kita bisa mendapatkan informasi secara utuh. Dakwah digital harus diimbangi dengan literasi digital. Salam literasi.