Mohon tunggu...
Akmal Husaini
Akmal Husaini Mohon Tunggu... Wiraswasta - suka menjaga kebersihan

kebersihan sebagian dari iman. Karena itulah jadilah pribadi yang bersih

Selanjutnya

Tutup

Politik

Awas, Politik Identitas Bisa Menguatkan Bibit Radikalisme

9 November 2019   07:57 Diperbarui: 9 November 2019   08:00 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Indonesia Satu - kompasiana.com

Demokratisasi di Indonesia memang begitu dinamis. Ketika memasuki tahun politik beberapa tahun lalu, masyarakat mulai melek politik. Pembicaraan politik tidak hanya terjadi di gedung dewan, atau di kantor DPP saja. Tapi juga sudah terjadi di kampus, kantor, warung kopi, bus, krl, dimana-mana membicarakan tentang politik. Sayangnya, pembicaraan politik tersebut kadang tidak disertai dengan literasi yang cukup. Masyarakat mengomentari pernyataan elit politik tertentu, tapi tidak mengetahui apakah informasi yang dimaksud benar atau tidak, valid atau tidak.

Yang menjadi persoalan adalah, ketika masyarakat mulai terbiasa membiacarakan politik, sentiment SARA menguat. Politik identitas pun mau tidak mau juga ikut menguat. Ketika politik identitas menguat, maka potensi menguatnya radikalisme begitu nyata. Pancasila sebagai ideologi negara terus dipersoalkan. Pancasila dianggap sudah tidak relevan lagi. Padahal, Pancasila adalah nilai-nilai yang lahir dari budaya masyarakat Indonesia sendiri. Pancasila tidak pernah usang dan masih relevan hingga saat ini.

Menguatnya politik identitas ini berpotensi menguatkan bibit radikalisme di Indonesia. Indikasi ini pun sudah terlihat dari berbagai riset. Salah satunya adalah riset Setara Institute tiga tahun yang lalu yang telah menunjukkan mulai masuknya radikalisme ke generasi muda. 171 sekolah negeri yang di survey, 0,3 persen pelajarnya telah terpapar ideologi radikal. 2,4 persen diantaranya masuk dalam kategori intoleran aktif, dan 35,7 persen masuk intoleran pasif. Pada 2019 ini, survey dilakukan di 10 perguruan tinggi d Indonesia.  8,1 persen diantaranya mahasiswa ingin melakukan jihad. Mereka juga menginginkan negara Indonesia mengadopsi regulasi keagamaan.

Dari data tersebut, setidaknya mengkonfirmasi bahwa ideologi radikalisme memang telah menyasar generasi muda. Saat ini, propaganda radikalisme itu kian menguat ketika ujaran kebencian terus menyasar anak muda di dunia maya. Keramahan itu begitu mudah diganti dengan amarah. Begitu mudahnya orang marah hanya karena informasi yang tidak valid. Dititik inilah, para oknum umumnya memanfaatkan dan menebar informasi yang menyesatkan, untuk mewujudkan kepentingannya. Termasuk munculnya politik identitas. Karena merasa mayoritas, dengan mudah mengintimidasi yang minoritas. Karena merasa paling kuat, gemar melakukan persekusi kepada yang lemah.

Saat ini, banyak pihak yang mengatasnamakan kelompok dengan mengusung nilai-nilai keagamaan. Mereka melakukan persekusi, tapi diklaim sebagai bagian dari jihad. Padahal, jihad tidak boleh dilakukan dengan cara-cara kekerasan. Jihad harus dilakukan dengan cara yang santun, cara yang tidak menyakiti. Masyarakat diharapkan juga tidak mudah terprovokasi. Mari belajar dari kasus Papua, yang berujung rusuh beberapa bulan lalu. Hanya karena pernyataan di media sosial, amarah tak terkendalikan dan berujung pada konflik di tengah masyarakat. Berhentilah menyebarkan provokasi. Stop politik indentitas. Mari kedepankan politik keberagaman. Karena dengan keberagaman itulah, toleransi di negeri ini akan tetap terjaga.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun