Mohon tunggu...
Mudzakkir Abidin
Mudzakkir Abidin Mohon Tunggu... Seorang guru yang suka menulis

Menulis adalah sumber kebahagiaan. Ia setara dengan seratus cangkir kopi dalam menaikkan dopamine otak. Jika kopi berbahaya jika berlebihan dikonsumsi, namun tidak dengan tulisan, semakin banyak semakin baik buat otak.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Mokel, Puasa, Warung, dan Hak Menghakimi

23 Maret 2025   22:46 Diperbarui: 23 Maret 2025   22:46 307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Dalam perjalanan dari Maros ke Makassar dan kembali lagi, anak-anak saya beberapa kali menunjuk ke luar jendela, heran melihat orang dewasa yang tampak tak berpuasa. Ada yang makan, minum, bahkan merokok di tepi jalan.

"Abi, itu bapak-bapak tidak puasa, ia merokok," seru Alif dan Aisyah hampir bersamaan.

Saya terdiam. Menjelaskan pun percuma, karena mereka belum cukup paham mengapa ada orang dewasa yang boleh makan sementara mereka harus menahan lapar karena puasa.

Sebagian orang mungkin akan berbisik dalam hati, "Mungkin mereka bukan Muslim." Namun, apakah itu benar-benar sikap berprasangka baik? Bukankah kufur jauh lebih berat daripada dosa meninggalkan puasa?

Saya kerap mencoba berprasangka baik. Bisa jadi mereka dalam kondisi sulit, buruh, tukang ojek, atau pekerja serabutan yang harus bekerja di bawah terik matahari. Mungkin seorang ayah yang tak punya pilihan selain tetap makan agar bisa mencari nafkah, agar keluarganya tak justru "berpuasa" karena kelaparan.

Islam memang agama yang mudah, tapi tidak memudah-mudahkan. Ia memberi keringanan bagi yang memiliki uzur syar'i, tetapi tetap menuntut ketakwaan bagi yang mampu. Dan dalam hal ini, yang berhak menentukan siapa yang mampu dan siapa yang tidak hanyalah Allah.

Lalu, bagaimana dengan warung-warung kecil yang tetap buka di siang hari Ramadhan, dengan setengah kain tertutup? Jika kita bisa berprasangka baik, mengapa tidak bisa bersikap bijak? Haruskah setiap pemilik warung bertanya satu per satu kepada pelanggannya, "Anda non-Muslim? Anda sedang haid? Anda musafir?"

Ada yang berkata, "Kalau begitu, tutup saja! Kenapa tetap buka di siang hari?" Baik. Tapi apakah semua pemilik warung kecil itu punya tabungan seperti Anda? Bisa tetap menghidupi keluarga meski warungnya tutup sebulan penuh?

Menghakimi mereka tak mendatangkan pahala. Kita pun tak berhak dan tak bisa melarang apalagi merazia. Yang bisa kita lakukan adalah memastikan bahwa kita sendiri menjalani Ramadhan dengan penuh kesadaran, bukan sekadar menahan lapar, tetapi juga menahan diri dari menghakimi apa yang tidak perlu.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun